Telpon Yang Tak Diangkat.

3.2K 170 3
                                    

‘Risma, sedang apa kamu sekarang?’ gumam Kendra dalam hati. Dia mulai merasa rindu kepada istri pertamanya itu.

“Mas, kok kamu melamun, sih?” tegur Eva. “Sudah belum memesan makanannya?”

Kendra terhenyak. “Oh, sudah. Ayam geprek dan juice jeruk bukan? Tunggu lima belas sampai dua puluh menit lagi pesanannya datang.” Kendra beranjak dari duduknya.

“Lho, mas mau kemana?”

“Aku mau duduk-duduk di teras untuk mencari angin segar sembari menunggu pesanan ayam geprekmu datang.”

“Ayam bakar mas tidak dimakan?”

Kendra menggeleng. “Aku kenyang.”

Eva menyipitkan matanya. “Beneran kenyang?”

Kendra mengangguk, lalu berlalu dari meja makan menuju teras.

Sementara itu di tempat lain, Risma sedang menikmati sebungkus nasi goreng pedas. Sembari makan, sesekali Risma menyeka airmatanya yang terus mengalir dari kedua sudut matanya. Bukan karena kepedasan, tapi karena dadanya terasa sesak oleh sakit hati yang amat sangat dia rasakan. Dia tidak menyangka kalau Kendra akan dengan mudah menghancurkan perasaannya hanya karena dia belum hamil. Padahal menurutnya ini adalah sebuah kewajaran mengingat usia pernikahan mereka baru dua tahun. Apalagi Kendra sering bolak-balik ke luar kota.

Tapi sudahlah, jika pun dia mendebat Kendra, itu tidak ada gunanya saat ini. Kendra sudah terlanjur menikahi wanita yang saat ini berada di rumahnya. Mana sedang hamil pula. Dosa baginya menuntut Kendra menceraikan istri sendiri. Solusi terbaik jika dia tidak sanggup berbagi suami adalah perpisahan.

Drrrrt…. Drrrrt….

Risma terhenyak. Dia menoleh pada sumber suara. Itu adalah getaran suara ponselnya yang berada di sisi tangan kanannya. Risma meraih ponsel itu dan melihat nama ‘Kendra’ ada di layarnya. Dia merasa ragu untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Kenapa dia menelpon? Apa mau memarahiku atas keputusanku? Atau malah akan menertawaiku karena menganggap keputusanku adalah salah?” tanya Risma pada dirinya sendiri.

Risma menggeleng. “Kalaupun dia ingin merayuku untuk kembali ke rumah, itu tidak akan membuatku bahagia. Dia sudah mempunyai istri yang lain. Jadi lebih baik aku tidak mengangkat telpon ini demi kenyamananku sendiri. Saat ini yang bisa membahagiakanku adalah diriku sendiri.”

Karena khawatir Kendra akan mengatakan hal yang semakin membuatnya terluka, Risma pun menaruh ponselnya kembali ke atas meja. Dia meneruskan makan malamnya tanpa memperdulikan ponsel yang terus bergetar.

Tentu saja itu membuat Kendra gundah gulana. Di teras rumahnya, Kendra mondar mandir seperti sebuah setrikaan sembari terus menelpon Risma. Entah sudah berapa puluh kali Kendra menelpon, nyatanya tak satu pun panggilan yang dijawab oleh Risma.

“Kenapa kamu tidak mengangkat telpon dariku, Ris? Apa maksudnya ini? Apa kamu benar-benar sudah positif ingin berpisah dariku?”

Kendra ingin kembali menelpon Risma ketika pesanan Eva datang. Terpaksa ponselnya dia masukkan ke dalam saku bajunya sebelum akhirnya mendekati pengantar makanan untuk mengambil pesanannya. Setelah membayar pesanannya, dia masuk lagi ke dalam rumah dan memberikan pesanannya itu pada Eva.

“Ini pesananmu. Makanlah.”

Eva menerima pesanan yang disodorkan Kendra dengan antusias. “Mas mau makan bareng aku?”

“Tidak. Aku tidak sedang berselera makan. Kamu makan sendiri saja. Justru aku ingin menemui Risma. Aku menelponnya puluhan kali tapi dia tidak mengangkatnya.

Mendengar ucapan Kendra barusan, Eva terhenyak. "Apa? Mas mau menemui Risma?"

"Iya, kenapa kamu tampak terkejut seperti itu?"

"Tapi mas, aku ini baru datang ke rumah ini. Bagaimana bisa mas mau meninggalkanku? Aku ini masih takut dengan rumah ini."

"Aku hanya menemuinya saja. Aku tidak menginap. Lagian rumah Risma tidak begitu jauh. Hanya lima belas menit dari rumah ini."

"Tetap saja aku takut, mas? Tapi kalau mas nekad pergi ke sana, aku tidak mau makan." Eva beranjak dari duduknya.

"Iya iya aku tidak jadi pergi ke sana," ucap Kendra begitu mendapati kalau istri keduanya itu merajuk. "Sekarang duduklah lagi dan makanlah."

Eva menatap Kendra penuh selidik. "Benar kamu tidak jadi pergi ke rumah Risma, Mas?"

"Iya, tidak jadi. Mungkin besok saja."

Eva pun duduk kembali. Wanita itu lalu menyantap ayam gepreknya dengan lahap.

***

Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, Risma berangkat ke pasar untuk membeli bahan makanan. Kebetulan pasar tidak jauh dari rumahnya sehingga bisa ditempuh dengan jalan kaki. Pukul tiga pasar tempatnya berbelanja sudah ramai dengan pedagang dan pembeli.

Dari satu kios ke kios yang lain, Risma tampak lincah berbelanja. Kebetulan pasar ini adalah pasar tempatnya selama ini berbelanja sehingga dia sudah mempunyai pedagang langganannya. Memang sih lebih dekat dengan rumah tuanya ketimbang rumah suaminya.

Setelah keranjang belanja penuh, Risma meninggalkan pasar tersebut menuju rumah. Dengan penuh cekatan, Risma mulai memasak. Sembari memasak Risma terbiasa melakukan pekerjaan lain seperti mencuci piring, beres-beres, dan mencuci baju. Barulah terakhir dia menyapu halaman. Saat itulah dia menjadi bisik-bisik tetangga yang lewat.

"Itu Risma?"

"Ya, siapa lagi?"

"Lho, kok di sini?"

"Mana aku tau."

"Bertengkar dengan suaminya atau hanya berkunjung?"

"Sudah dibilang aku tidak tau. Tapi dia biasa datang ke rumah ini bukan? Seminggu sekali dia datang untuk membersihkan rumah."

"Tapi 'kan tidak sampai menginap."

"Kalau begitu tanya saja biar tidak penasaran."

Kedua ibu tadi mendekat ke pagar rumah Risma. Risma menoleh, berhenti menyapu, dan memberikan senyum.

"Pagi ibu-ibu...," sapanya ramah.

"Kamu sejak kapan ada di sini? Nginep dari semalam ya?"

Risma memaksakan senyum. Meskipun tidak ingin menjawab, dia harus menjawabnya. "Iya, aku di sini dari malam."

"Sendiri apa sama suami?"

"E... sendiri, Bu."

"Kok sendiri? Suaminya mana?"

"Suami saya sibuk."

"Ooo... begitu. Tapi nih kalau misal kamu ke sini karena bertengkar, jangan lama-lama bertengkarnya. Suami istri bertengkar itu biasa. Itu bumbunya dalam rumah tangga. Jangan dibesar-besarkan."

Risma mengangguk. "Iya Bu. Saya mengerti."

"Ya, sudah. Kalau begitu kami mau pergi ke pasar dulu."

"Iya, bu. Silahkan."

Kedua ibu tetangga kembali melangkah meneruskan perjalanan mereka yang katanya mau ke pasar sembari bergosip lagi.

Risma menghela nafas panjang. Sebenarnya dia sudah tahu akan terjadi hal seperti ini. Bebas dari Kendra bukan berarti bebas dari omongan tetangga. Meninggalkan rumah suaminya itu pasti akan menjadi pertanyaan bagi para tetangga.

Dan... mungkin hal tersebut membuatnya tidak lepas dari yang namanya sakit hati. Akan tetapi, dia bisa lebih menerima celaan tetangga daripada melihat Kendra berduaan dengan wanita lain.

Risma menghela nafas panjang untuk yang kedua kali sebelum akhirnya kembali menyapu halaman. Setelah halaman bersih, barulah dia mandi dan dilanjutkan dengan sarapan. Namun, ketika dia sedang mencuci piring, terdengar ketukam di pintu. Risma meninggalkan piring bekas makannya tadi, mencuci tangan, barulah setelah itu dia beranjak untuk membukakan pintu depan.

Alangkah terkejutnya dia begitu mengetahui siapa yang datang. Dia... Kendra.

BERSAMBUNG.

Luka Pernikahan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang