1

17 0 0
                                    

“Perbedaan kadang malah menjadi alasan untuk bersatunya dua insan.”

***

Duduk sendiri di bangku Taman adalah hal yang biasa Ardan lakukan setiap harinya. Sebagai seorang jurnalistik di sekolah, ia membutuhkan suasana sepi dan tenang, untuk me-refresh otak agar mendapatkan inspirasi untuk menulis . Seperti sekarang, Ardan sedang melamun, menikmati hembusan angin yang menerpa setiap inci wajahnya. Tadi seusai upacara, ia dipanggil oleh Pak Iwan, guru Bahasa Indonesia sekaligus pembimbing organisasi jurnalis di sekolahnya. Ia mendapat tugas untuk mewawancarai siswi yang menjuarai lomba seni lukis tingkat nasional. Itu sebabnya mengapa Ardan ada di Taman saat ini, karena sudah menjadi rutinitasnya jika mendapatkan projek jurnalis.

“Sendiri aja, Dan?” Lamunannya buyar, lebih tepatnya fokusnya teralihkan. Kini Ardan merubah atensinya ke arah sumber suara.

Setelah melihat pelakunya, Ardan kembali memfokuskan atensi lurus ke depan. “Iya,  biasalah lagi dapet projek nulis,” jawabnya. Reno yang medapatkan jawaban seperti itu hanya mengangguk sembari melangkah mendekati Ardan dan menduduki dirinya di sebelah teman kelasnya itu.

“Ada topik apalagi emang?” Tanya Reno penasaran. Reno memang cukup dekat dengan Ardan, dan Reno selalu mengetahui topik trending yang ada di sekolah berkat Ardan.

“Amara Sintya Putri Baskoro,” ucap Ardan tiba-tiba membuat Reno melihatnya dengan tatapan bertanya. “Kata Pak Iwan, dia anak 12 IPA 2. Memang udah sering juara lomba melukis, tapi baru kali ini ikut dan menang tingkat nasional membawa nama sekolah kita,” Ardan menjedah ucapannya, “tapi, aku gak pernah dengar namanya. Kamu tau orangnya yang mana, Ren?” Ardan menoleh ke arah Reno yang dari tadi hanya diam mendengarkannya saja.

“Belum pernah dengar sih namanya, anak baru mungkin,” jawab Reno yang dibalas anggukan dari Ardan. Kini mereka berdua sama-sama terdiam. Tak lama dari itu, suara bel perlahan masuk di pendengaran mereka, itu artinya waktu untuk menikmati suasana tenang di taman sudah usai, saatnya masuk ke kelas.

Setelah berkutat dengan pelajaran, waktu pulang pun tiba. Tujuan utama Ardan saat ini adalah kelas 12 IPA 2, menjalankan tugasnya untuk mencari anak yang namanya Amara itu. Terlalu fokus berjalan, membuat Ardan tak sengaja menabrak seorang siswi yang berlawanan arah dengannya. Bersamaan dengan itu selembar kertas terjatuh tepat di depan kaki Ardan, membuatnya menunduk dan segera mengambil kertas tersebut. Mata Ardan tak sengaja membaca selembar kertas tersebut lalu ia tersenyum tipis.

“Maaf ya gak sengaja, ini kertasnya,” Ardan menyerahkan kertas itu ke orang yang ia tabrak tadi. Orang itu menerimanya dan tersenyum manis kepada Ardan, “Terima kasih,” jawabnya sopan.

“Sama-sama. Btw, nama kamu Amara, ya?” Tanya Ardan ragu, takutnya salah orang. Cewe itu mengangguk, “kok tau?” Tanyanya.

“Juara melukis tingkat nasional?”  Amara mengernyit heran, “Aku Ardan, anggota jurnalis sekolah. Apa kamu ada waktu untuk wawancara?” Tanya Ardan, dan Amara hanya menaikkan alis tanda tak mengerti.

Ardan menghela nafas pelan, “Aku ditugaskan Pak Iwan untuk menulis berita tentang sekolah kita yang menjuarai lomba seni lukis tingkat nasional, jadi harus mewawancarai kamu, masih kurang paham?” Amara menggeleng.

“Bisa, tapi enggak sekarang,” jawabnya.

Ardan mengangguk, “kamu belum jawab, kenapa tau kalau aku itu Amara?” Tanyanya masih dengan raut penasaran. Sedangkan Ardan, bukannya menjawab malah mengarahkan pandangan ke arah kertas yang ada di tangan Amara, membuat sang empu paham.

“Ini nomorku. Cocokkan dulu jadwalmu, kalau sudah ada waktu luang untuk wawancara, boleh hubungi aku di nomor itu,” Ardan menyerahkan kertas kecil yang bertuliskan nomor handphone nya. Setelah mendapatkan anggukan dari Amara, ia melangkah menjauhinya. Namun sebelum itu, “Congrats ya, kamu keren banget!” Amara tersenyum.

Sesampainya Ardan di rumah, ia disambut oleh seorang perempuan yang tak lain adalah ibunya. “Eh udah pulang, gimana sekolahnya, nak?” Tanya sang Ibu.                         “Seperti biasa,” jawab Ardan, “Ayo makan siang dulu, Ibu udah masak  ayam goreng balado, makanan kesukaan kamu, ” mata Ardan berbinar melihat apa yang terhidang di atas meja makan. “Wah,  pas banget Ardan lagi laper,” jawab Ardan kepada Ibunya.

Setelah selesai makan siang, Ardan memberitahu Ibunya tentang projek jurnalis yang ia dapatkan di sekolah. Ardan memang seperti itu, selalu menceritakan apa yang ia alami ketika di sekolah maupun di luar sekolah kepada Ibunya. “Oh iya Bu, Ardan dapat projek jurnalis dari Pak Iwan untuk menulis berita tentang salah satu siswi di sekolah yang memenangkan lomba melukis tingkat nasional,” ucap Ardan kepada Ibunya.

“Bagus dong, memang siswa-siswi di SMA Garuda Bangsa berbakat dan berprestasi semua, Ibu jadi bangga anak Ibu bisa sekolah di sana,” ucap Ibu bangga sambil membersihkan meja makan. “Emang siapa yang menjuarai lomba melukisnya, Ardan?” Tanya Ibu kepada sang anak yang tengah menyandarkan punggungya di sandaran kursi.  “Siswi kelas 12 IPA 2, Bu,” Ibu tersenyum jail ke arah Ardan, “Oh cewek ya, pasti cantik kan?” Ucap Ibu sambil menggoda anaknya itu. “Apasih Bu,  Ardan masuk ke kamar dulu ya mau istirahat” Ardan beranjak dari duduknya dan langsung menuju kamar.

Kini langit telah berganti gelap, menandakan bahwa malam telah tiba. Ardan yang tengah berkutat di depan laptop sejenak berhenti mengetik ketika mendengar suara notif dari handphone nya. Ardan mengernyit heran ketika melihat notif dari orang yang tak ia kenal. Dengan rasa penasaran, Ardan membuka room chat tersebut.

“Besok aku ada waktu buat wawancara, bagaimana?”

Ardan mengangguk paham setelah membaca chat itu, sudah ia pastikan itu adalah Amara. Ardan terdiam sejenak, mengingat apakah besok ia ada jadwal lain atau tidak. Setelah merasa besok jadwalnya kosong, ia segera mengetikkan balasan untuk Amara.

“Iya, Amara. Besok wawancaranya di aula saja, sehabis pulang sekolah.”

Tangan Ardan bergerak untuk mengirim pesan tersebut. Tak berselang lama, tanda centang dua abu-abu telah berubah menjadi biru. Ardan kembali memfokuskan atensinya ke layar laptop, sesekali matanya melirik ke arah handphone, menunggu balasan dari Amara. Namun nihil, tak ada balasan lagi. Ardan menggelengkan kepalanya, kenapa ia menunggu balasan dari Amara? Bukankah pesan yang ia kirim tadi tidak butuh balasan?

Datang Untuk PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang