Sudah satu Minggu sejak Ardan koma Amara tidak pernah absen untuk menjenguk. Setiap hari dia akan datang dengan berbagai cerita. Tentang dia yang ke kantin sendirian, dan tentang dia yang menikmati senja tanpa kehadiran Ardan.
“Udah seminggu loh Ardan, kamu gak kangen sama aku?” monolognya.
Tangannya mencapai sebuah buku yang beberapa hari lalu Ibu Ardan berikan ke Amara, berjudulkan “Dia utuhku”.
“Aku udah baca buku ini, kamu kok sweet banget? Ini buku isinya tentang aku semua, segitunya sama aku. Kamu gak ada niatan mau bangun ya? Gak mau liat mukaku lagi?”
Amara menghela nafasnya pelan. Percuma saja ia selama seminggu ini berbicara kepada Ardan, tak mungkin Ardan bisa menjawab. Amara pun hendak melangkahkan kakinya untuk keluar. Ia ingin menenangkan pikirannya di taman belakang. Namun langkahnya terhenti kala ada yang mencekal tangannya.
Di ruangan ini tidak ada siapapun selain dia dan Ardan. Dengan perlahan ia menoleh ke belakang dan dilihatnya Ardan yang sudah sadar. Amara membeku. Ia merasa ini hanyalah halusinasinya saja.
“Amara,” panggil Ardan lemah.
Amara dengan segera mendekati Ardan. Senyum harunya tercetak di indah diwajahnya. Tangannya bergerak menggenggam tangan Ardan yang terpasang impus.
“Ardan? Kamu udah sadar?” tanya Amara tak percaya. Ardan tersenyum singkat dan mengangguk.
Amara langsung saja memeluk Ardan yang masih terbaring di brankar rumah sakit. Amara tak bisa mengutarakan seberapa bahagianya dia ketika melihat orang yang menjadi sumber bahagianya sudah sadar. Selama seminggu ia selalu berdoa untuk kesembuhan kekasihnya itu, dan Tuhan memang baik. Tuhan mengabulkan setiap doanya.
“Ardan aku seneng banget,” ucapnya bergetar. Tangis haru kini mengisi penuh ruangan. Ardan tersenyum dan menggenggam tangan Amara lemah.
“Maafin aku udah buat kamu khawatir,” ucap Ardan.
“Kamu gak salah, yang salah aku, seandainya aja waktu itu aku-“
“Sttt…” telunjuk Ardan menempel di bibir Amara. “Gak usah nyalahin diri sendiri, itu musibah. Itu juga takdir, yang memang udah tertulis di suratan takdir.” Ucap Ardan meyakinkan.
“Aku minta maaf,” ucap Amara.
“Aku banyak salah sama kamu, maafin ya. Tapi jangan tinggalin aku,” lanjutnya lirih dengan sedikit isakan.
Ardan membawanya kedalam dekapan. Mengelus pelan punggungnya, menyalurkan ketenangan untuk Amara.
“Udah jangan sedih, kan aku udah sadar,” ucap Ardan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Datang Untuk Pergi
Teen FictionTugas Kelompok Bahasa Indonesia👍 Ini novel lite, jadi singkat, padat, dan tidak jelas👍 Selamat membaca🙏