9

2 0 0
                                    

“Ada yang datang lalu pergi. Tapi apa yang telah pergi akan terganti.”

***

Matahari mulai memancarkan sinar hangatnya. Amara kini tampak sudah siap dengan pakaian elegannya, ditambah koper yang sudah bertanggar di sampingnya. Ia sedang menunggu Ardan yang katanya sudah dalam perjalanan menjemputnya menggunakan taksi.

Amara duduk di teras sambil men-scroll aplikasi instagram. Terlihat Ardan memposting satu foto, jepretan jalanan dari dalam mobil, 3 menit yang lalu. Dilihatnya caption yang tertulis di postingan tersebut.

“Kita banyak menyusun rencana, tapi tak tau yang mana saja yang akan terlaksana.”

Amara tersenyum tenang setelah membaca quotes yang diposting oleh Ardan. Memang benar, kita banyak menyusun rencana. Entah itu yang pasti terjadi, atau mungkin sulit untuk tercapai. Kita tidak tau, rencana mana yang akan terlaksana, dan rencana mana yang akan gagal. Jadi, jangan berekspektasi tinggi, karena tak semua hal bisa dicapai hanya karena telah disusun rapi.

Amara mengakui bahwa Ardan adalah lelaki yang dewasa dalam berfikir dan bertindak. Dari tulisannya saja, Amara dapat melihat pemikiran maju sahabatnya itu. Amara merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Ardan.

Sebuah taksi memasuki halaman Amara. Keluarlah Seorang lelaki menggunakan baju casual nya dan mendekati Amara yang sedang duduk. Ardan. Ia tersenyum dan menyapa Amara.

“Maaf ya, agak lama,” ucapnya.

“Santailah Dan, masih awal juga,” jawab Amara.

Ardan celingak-celinguk, melihat ke dalam rumah Amara. Yang punya rumah dibuat heran olehnya, siapa yang dia cari?

“Mama mana?” tanya Ardan.

“Mama pergi belanja, katanya kalau udah mau pergi tutup aja pintu,” jelas Amara yang diangguki oleh Ardan.

“Yaudah, yuk”

Mereka memasuki taksi yang sedari tadi menunggu. Ardan membawakan koper Amara, memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Setelah itu ia masuk menyusuli Amara, dan mobil pun berangkat menuju bandara, karena anak-anak jurnalis menentukan titik kumpul di sana.

Setelah sampai, bandara terlihat sangat ramai, banyak orang berlalu lalang. Pandangan Ardan menyapu seluruh sudut bandara, mencari keberadaan teman-temannya. Retinanya menangkap seorang yang menggunakan baju yang sama dengannya, namun bedanya ia membalutnya dengan jaket. Anak jurnalis memang memiliki baju lapangan, gunanya agar kompak jika bepergian untuk meliput berita.

Ardan pun menarik tangan Amara lembut, membawanya ke tempat di mana teman-temannya berkumpul.

“Wihh udah dateng,” ucap teman Ardan.

“Maaf ya lama,” jawab Ardan merasa bersalah.

“Enggak, yang penting pesawatnya belum berangkat, Dan,” jawabnya.

Amara tersenyum kikuk, ia malu berada di antara anak-anak jurnalis yang notabene nya sudah terkenal dan dikagumi satu sekolah, bisa dibilang famous. Tak bisa disangkal, bahwa anak-anak jurnalis memiliki paras yang tampan, dan terlihat lebih berwibawa. Tapi tak bisa disangkal pula, kalau Ardan adalah yang paling tampan di antaranya.

“Hai gais, maaf telat,” Seorang gadis datang dengan terburu-buru, menggunakan baju yang sama dengan anak-anak jurnalis lainnya, Amara tebak itu juga anak jurnalis sekolah. Tapi, Amara belum pernah melihatnya. Dan Amara juga baru tau, kalau anak jurnalis ada yang cewe.

“Iya, santai aja,” jawab Ardan tersenyum kepada gadis tersebut.

Gadis yang mendapat senyum dari Ardan itu pun membalasnya. Lengkungan senyumnya terlihat sangat manis, ditambah lagi wajahnya yang sangat cantik, membuat Amara pun merasa insecure. Ardan yang tersenyum tulus kepada gadis itu, membuat Amara berkonspirasi bahwa Ardan dekat dengan gadis itu. Tapi ia tak egois, Ardan anak yang terkenal di kalangan sekolah, dan Ardan juga berhak memiliki teman gadis selainnya. Ia ingat, tak boleh berekspektasi tinggi.

Ardan melihat ke arah Amara yang sedang asik dengan aktifitas nya, yaitu melamun.

“Hei, kenapa melamun?” tanya Ardan membuat Amara tersadar dari lamunannya.

“Eh, enggak,” Amara tersenyum paksa. Ardan tersenyum, tangannya terangkat untuk mengelus surai panjang rambut Amara yang sangat wangi. Ardan sudah hafal bau Amara, dan dia suka. Kegiatan Ardan itu tak luput dari pandangan teman-temannya yang kini sudah menggoda mereka berdua. Namun lain halnya dengan gadis tadi, ia terlihat masam.

“Oh iya. Amara, ini Audrey, anak jurnalis cewe satu-satunya,” Ardan mengenalkan.

Amara tersenyum ramah ke arah Audrey, “Hai, Audrey. Aku Amara,” ucapnya yang dibalas senyum singkat.

Pemberangkatan sebentar lagi, mereka pun bersiap untuk masuk  ke dalam.

Datang Untuk PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang