6

2 0 0
                                    

Di keramaian, Amara sedang menikmati makanan yang sudah terhidang. Ia tidak merasa canggung berada di rumah Ardan yang malam ini sedang ada acara.

Ibu Ardan menghampiri Amara, “Amara, Ibu boleh minta tolong panggilkan Ardan?” tanya Ibu ramah.

Amara menggangguk, “ Boleh Bu, Ardan nya di mana?” tanya Amara balik.

“Di kamarnya, naik saja kelantai dua,”

Amara pun menaiki anak tangga untuk menemui Ardan yang katanya sedang berada di kamarnya. Amara mengetok pintunya, namun tak ada jawaban dari dalam. Akhirnya Amara mencoba membuka pintu kamar itu yang ternyata tidak dikunci.

Amara melangkahkan kaki ke dalam kamar tersebut, menatap setiap sudut kamar Ardan yang memiliki interior yang sangat indah dan cocok untuk lelaki. Sayangnya ia tak menemukan Ardan di sini, namun sekilas ia melihat ada rak buku mini yang berada di pojok dekat pintu yang berisikan buku-buku. Dengan penasaran, Amara pun mendatagi rak buku itu. Ada beberapa buku yang ia lihat, tercantum nama Ardan sebagai penulisnya.

Amara mengambil salah satu buku tersebut, penasaran dengan isinya. Buku yang berjudulkan “Sajak Jejak” membuat Amara tertarik dan mulai membacanya. Sebuah buku yang mengisahkan jejak perjuangan seseorang, namun ditulis dalam bentuk sajak yang memiliki banyak makna. Sangat bagus, sampai Amara tak sadar bahwa sosok yang ia cari di awal, kini telah ada di sampingnya.

“Amara?” Panggil Ardan membuat Amara tersentak kaget. Dengan cepat ia mengembalikan buku itu ke tempat semula lalu tersenyum kikuk di hadapan Ardan.

“Eh, maaf Dan, aku lancang baca buku mu,” ucap Amara sambil menunduk, merasa bersalah dengan apa yang ia lakukan. Menurutnya itu sangat lancang.

Ardan tersenyum, “Tidak masalah. Tapi kamu kok bisa ada di kamar aku?” tanya Ardan lembut.

“Tadi Ibu suruh aku panggil kamu, jadi aku kesini. Eh, kamu nya enggak ada.” Ardan mengangguk paham.

“Kamu baca buku ku yang ada di situ?” tanya Ardan sambil menunjuk ke arah rak buku mini itu. Amara mengangguk antusias. “Iya. Itu kamu nulis sendiri?” tanya Amara.

“Iya, tapi untuk koleksi pribadi saja.”

“Kalau kamu cetak banyak, terus di publish, pasti banyak yang minat, Dan. Aku aja suka banget” ujarnya memuji mahakarya Ardan.

“Emang iya?” Amara mengangguk.

“Yaudah yuk, nanti Ibu nunggu lama” Ardan mengajak Amara untuk turun ke bawah.

Amara turun bersama Ardan menuju ke tempat di mana Ibu dan Mama berada. Di sana, Ibu Ardan sedang mengobrol dengan tamu lainnya, termasuk Ibu Amara.

“Ardan itu ya, gak mau kalau di suruh kuliah di luar, padahal dia ada potensi,” ucap Ibu Ardan kepada ibu-ibu lainnya yang sedang berada di sana.

“Amara juga begitu, dia ga mau kuliah di luar. Sepupu nya aja mau kuliah di luar, ga diberi restu sama dia,” lanjut Mama Amara. Yang lain hanya tertawa, lain halnya dengan Amara dan Ardan yang kini sedang saling menatap.

“Kamu gak mau kuliah di luar?” tanya Ardan.

“Enggak. Aku tuh gak bisa jauh dari orang-orang terdekat aku,” ucapan Amara terjeda.

“Aku ga suka LDR, sama siapapun.” tegas Amara yakin. Ardan hanya mengangguk saja.

Sekarang, acara di rumah Ardan sudah selesai. Mama Amara sudah lebih dahulu pulang ke rumah karena ada urusan bersama temannya. Tinggal lah Amara sendiri di sini, membantu membereskan setelah acara.

Usai membantu Ibu Ardan, Amara duduk di sofa untuk menyandarkan diri, melepas penat sebentar. Ardan datang menghampirinya dengan segelas air minum. Tanpa bertanya, Amara langsung saja meminumnya karena sudah terlewat haus. Ardan tersenyum melihat Amara yang masih terlihat cantik walaupun sudah dipenuhi dengan peluh.

“Cantik,” ucap Ardan tanpa sadar. Matanya pun tak teralihkan dari wajah Amara yang ada di hadapannya. Amara tersenyum kikuk mendengar penuturan Ardan barusan.

Plakk.

“Aduh!” ringis Ardan yang tiba-tiba dipukul Amara di bagian lengan. Sedangkan pelakunya hanya menyengir lebar.

“Melamun mulu,” ucap Amara.

“Tapi yang aku bilang tadi beneran loh, Amara,” lanjut Ardan.

“Ya emang aku cantik,” jawab Amara dengan percaya diri.

“Kan kamu cewek, pasti cantik,” ujar Ardan dengan sedikit kekehan. Amara yang awalnya tersenyum mendengar pujian dari Ardan, kini wajahnya berubah menjadi masam, dengan dengusan- dengusan yang terdengar.

Ardan yang melihatnya tertawa renyah, muka gadis di depannya ini sangat lah menggemaskan. Maka dari itu, Ardan sangat suka menggoda Amara.

“Bercanda, yaudah ayo aku anter pulang” Ardan beranjak dari duduknya.

“Izin Ibu dulu sana,” perintah Ardan yang diangguki oleh Amara.

Setelah berpamitan, mereka berdua pun pergi menaiki motor milik Ardan, menjalankannya menuju rumah Amara.

Datang Untuk PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang