11

2 0 0
                                    

Ardan sudah siap dengan pakaiannya, dan juga laptop yang sudah tersimpan rapi di tasnya. Sekarang pukul 7 pagi, Ardan dan yang lainnya harus sampai di tempat lomba pukul setengah 8. Kini mereka sudah berkumpul untuk pergi ke tempat lomba.

Sedangkan di lain tempat, Amara masih nyaman dalam tidurnya. Tadi Audrey sempat berpamitan kepada Amara dan dijawab dengan gumaman tak jelas darinya.

Alarm handphone nya berbunyi. Beginilah jika ia sedang jauh dari Mamanya, tidak ada yang bisa membangunkannya kecuali Mama dan juga alarm. Bagi Amara, Mama nya itu adalah Alarm berjalannya.

Terduduk ketika kaget mendengar bunyi alarm yang keras, membuat Amara harus memejamkan matanya sebentar karena kepalanya terasa pusing. Di matikannya alarm yang mengusik tidurnya itu, dan ia melihat ada notif dari Ardan.

“Kebo, bangun! Aku mau berangkat dulu, doain semoga lancar ya. Oh iya nanti perginya hati-hati, kalau perlu gak usah pergi aja deh. See you nanti sore, sahabat bawel ku”

Amara yang belum saja menumgpulkan nyawanya dibuat senyam-senyum oleh Ardan. Kenapa ia harus mendapatkan pesan semanis ini di pagi hari, padahal wajahnya saja masih asem dan mungkin saja ada iler di sekitar bibir. Ia sendiri merasa jijik membayangkan penampilannya pagi ini, dengan segera ia berlari kecil ke kamar mandi dan tak lupa dengan handuknya.

Setelah selesai dengan ritual mandinya, Amara bersiap untuk pergi jalan-jalan. Dia akan menghabiskan waktu untuk healing dari pagi sampai sore nanti. Pikirnya, daripada berdiam di kamar hotel saja tak ada kegiatan, lebih baik ia keluar mencari angin. Mumpung lagi di luar kota.

Amara pergi ke luar hotel untuk menaiki taksi yang memang tersedia di hotel ini. Pertama-tama ia ingin ke tempat kuliner terlebih dahulu, karena sarapan dari hotel tadi kuramg ia sukai.

Amara mengarahkan kamera handphone nya ke arah wajahnya, berpose kemudian berfoto. Foto itu ia kirimkan ke Mama nya. Dari masih di Bandara kemarin hingga sekarang, mungkin sudah terhitung lebih dari 10 gambar dirinya yang ia kirimkan kepada sang Mama. Amara sedari kecil memang lebih dekat dengan Mamanya, sehingga ia tak bisa jika harus LDR seperti ini.

Taksi sudah sampai di tempat tujuan. Amara pun segera turun dan langsung saja masuk untuk memanjakan perutnya. Setelah makan, ia pun pergi ke tempat-tempat wisata yang ada di Palembang. Amara memang butuh healing, apalagi sekarang ia sudah kelas 12, banyak mendapat tugas membuatnya merasa stress, sama seperti anak-anak sebaya sepertinya.

Sudah banyak tempat yang ia kunjungi. Dilihatnya jam tangan yang sudah menunjukkan pukul setengah empat. Ia pun pergi menuju Danau yang kemarin ia kunjungi bersama Ardan. Tak lupa pula dengan kanvas dan juga alat-alat lainnya untuk melukis yang sudah ia siapkan.

Sesampainya di sana, suasananya sedikit ramai. Ia mencari-cari bangku kosong untuk ia duduki, namun nihil. Tak ada satupun bangku kosong sore ini.

Netranya menangkap seseorang yang sedang duduk sendiri di bangku panjang pojok. Amara menyipitkan matanya, melihat secara detail siapa yang ia lihat tadi. Ia merasa mengenali orang itu, karena penasaran ia pun menghampiri orang tersebut.

Saat hendak memanggil, orang itu terlebih dahulu menoleh ke arahnya. Amara melotot ketika Melihat orang tersebut.

“Amara?’tanya orang itu.

“Rakha kan?” tanya balik Amara yang mendapatkan anggukan.

“Tinggal di Palembang sekarang, Amara?” tanya Rakha.

“Berdiri nih jawabnya?” sindir Amara.

“Eh iya duduk dulu, neng” perintah Rakha kepada Amara.

“Jad, tinggal di sini?” tanyanya ulang.

“Gak, lagi ada kegiatan aja di sini, lusa pulang.” Jawab Amara.

“Oo gitu, kirain pindah ke sini”

“Terus kamu? Ngapain di Palembang? Bukannya di Jakarta?” tanya Amara.

“Udah pindah kes ini,” jawabnya.

Mereka pun larut dalam obrolan. Bernostalgia pada jaman SMP. Rakha adalah teman SMP Amara. Dulu, Amara dan Rakha sangat dekat karena sama-sama anak ambis. Apapun selalu belajar bareng. Amara juga tak menyangka bisa bertemu dengan teman lamanya di sini. Setelah 3 tahun lamanya tidak pernah bertemu.

Saat sedang asik tertawa, menceritakan hal konyol yang pernah mereka lalui di bangku SMP, ada deheman seseorang yang membuat tawa mereka terhenti.

“Eh Ardan,” kata Amara.

“Siapa Amara?” tanya Rakha yang sedang melihat ke arah Ardan.

“Oh ini, teman aku Rak. Namanya Ardan,” ucap Amara memperkenalkan Ardan kepada Rakha.

Mereka berdua saling berjabat tangan. Setelah itu Ardan duduk di samping Amara, membuat posisi Amara kini di antar Ardan dan Rakha.

“Oh iya Amara. Aku duluan ya, rumahmya agak jauh juga dari sini,” pamit Rakha.

“Iya hati-hati ya;” ucap Amara dan setelahnya punggung Rakha sudah menghilang dari pandangannya.

“Sejak kapan kamu di sini?” tanya Amara.

“Sejak kamu sama dia masih nostalgia,” jawab Ardan singkat. Amara mengangguk paham.

“Itu siapa?” tanya Ardan.

“Teman SMP, dia itu baik banget. Dulu aku kemana-mana selalu bareng sama dia. Dia juga partner ambis aku. Apa-Apa kalau ada lomba pasti kita berdua yang didaftarin. Dia itu ya Dan, dulunya cupu dan pendiam banget, tapi sekarang udah berubah, ganteng,” ujar Amara panjang lebar menceritakan mass-masa SMP nya bersama Rakha.

“Udah ceritanya?” tanya Ardan malas. Entahlah, Ardan malas mendengar Amara yang memuji teman SMP nya itu.

“Udah,” jawabnya dengan cengirang lebar.

“Yaudah, katanya mau melukis?” tanya Ardan.

“Iya,”

“Aku duduk di situ aja ya, aku juga mau ngelanjutin nulis,” ucap Ardan. Tanpa persetujuan dari Amara, Ardan langsung saja ke bangku sebelah.

Amara merasa heran, kenapa Ardan bersikap seperti ini? Ardan biasanya akan pergi setelah mendapatkan persetujuan dari orang yang menjadi lawan bicaranya.

Amara tak ambil pusing, ia pun memulai kegiatan untuk melukis pemandangan yang sangat indah. Senja yang masih malu-malu untuk keluar, kicauan burung yang akan kembali ke sarangnya, ricuhan orang-orang yang berlalu lalang. Amara dengan lihainya melukis diatas kanvas.

Ardan sudah menyelesaikan tugasnya, ia berjalan mendekati Amara yang masih sibuk dengan lukisannya. Ia sedikit kaget melihat apa yang di lukis oleh Amara.

Amara menoleh ke arah belakang, terlihat Ardan sedang berdiri membuat Amara tersentak kaget lalu dengan cepat menutup hasil lukisannya.

“Ardan, udah lama?” tanya Amara pelan.

“Kenapa? Baru juga dateng,” jawab Ardan santai. Padahal, ia tengah menahan senyumnya yang memberontak ingin keluar.

“K-kamu liat lukisan aku?” tanya Amara lagi dengan gugup.

“Enggak sih, emang kenapa? Bagus ya? Mau liat dong,” ucap Ardan bohong. Sedangkan Amara merasa sedikit lega karena Ardan tak melihat lukisannnya.

“Udah mau Maghrib, ayo pulang,” ajak Ardan.

“Tunggu! Kita lihat senja dulu sebentar, Ardan” tukas Amara tak mau dibantah.

Mereka menimati senja yang terpancar indah, dengan suasan yang mulai sunyi karena para pengunjung sudah mulai bubar. Amara sangat terpaku dengan indahnya senja yang sekarang ia lihat langsung di depannya. Mulai saat ini, Amara menyatakan bahwa ia menyukai senja. Sedangkan Ardan sudah terbiasa dengan hadirnya senja, karena dulu, senja lah yang selalu menemaninya disaat seseorang yang pernah hadir di kehidupannya pergi tanpa pamit. Sudahlah lupa kan. Nanti kita cerita tentang masa lalu Ardan.

Datang Untuk PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang