16

2 0 0
                                    

 “Pergimu sudah terlalu jauh, rumahmu sudah lelah menunggu. Kembalilah, banyak cerita rumpang yang harus dilengkapi, banyak persimpangan yang harus diperbaiki.

***

Suasana sekolah sangat ramai dengan siswa-siswi yang berlalu lalang, sibuk mempersiapkan diri untuk mendengarkan nilai hasil dari perjuangan mereka selama 3 tahun di sekolah ini. Hari ini hari kelulusan SMA Garuda Bangsa, Amara dan Ardan sudah duduk rapi di tempat yang telah disediakan panitia. Di depannya terdapat Mama Amara dan juga Ibu Ardan yang sedang mengobrol.

“Bentar lagi kita gak jadi siswa lagi, udah gede ya kita,” ujar Amara sembari terkekeh pelan.

“Iya udah gede, tapi kamu masih kaya bocil,”

Amara tak terima dengan ucapan Ardan barusan. Dengan lihai tangannya mencubit pinggang Ardan yang ada di sampingnya membuat sang empuh merintih kesakitan.

“Sakit Amara,”

“makanya jangan suka ngeledekin,” ucap Amara malas.

Sang pembawa acara sudah mulai menaiki tangga, pertanda acara sudah mau dimulai. Dengan suasana menegangkan saat pembacaan nilai dari siswa-siswi SMA Garuda Bangsa, kini saatnya sesi foto bersama, menjadi akhir dari acara ini, dan juga akhir dari perjuangan mereka di sekolah ini.

Mereka akan naik ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu dunia perkuliahan. Amara dan Ardan kini sedang berada di café dekat sekolah nya. Berbincang tentang kehidupan mereka kedepannya.

“Jadi kamu mau lanjut kuliah Dimana, Amara?” tanya Ardan.

“Universitas di sini aja, ambil jurusan kesenian,” jawab Amara yang diangguki Ardan.

“Kamu? Disini kan, Ardan?” tanya Amara membuat Ardan sedikit gelagapan. Ardan meminum jusnya sedikit untuk menetralkan tenggorokan nya yang sedikit tercekat untuk mengatakan sesuatu kepada Amara. Tangannya bergerak menggenggam tangan Amara yang berada di hadapannya.

“Aku lanjut di luar negeri, Amara,” ucap Ardan lemah.

Mendengar itu Amara langsung menggenggam kuat tangan Ardan. Rasanya seperti disambar petir ketika mendengar jawaban kekasihnya itu. Bukankah Amara sudah pernah mengatakan bahwa ia tak mau LDR? Kenapa Ardan malah melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

“Ardan, aku kan udah pernah bilang-“

“Iya tau, kamu gak bisa LDR kan? Tapi ini juga demi kebaikan aku, kebaikan kita, Amara,” potong Ardan.

“Kebaikan kita? Kebaikan kita untuk LDR gitu maksud kamu?” sambung Amara dengan sedikit meninggikan nada bicaranya.

Ardan memicit pelipisnya, pusing yang ia rasakan. Ia sudah mengira bahwa hal ini akan terjadi, pembantahan dari Amara yang tidak mau LDR. Tapi ini demi masa depannya.

“Amara please, jangan egois,” ucap Ardan.

“Egois kamu bilang? Kamu yang egois Ardan,” jawab Amara dengan emosi yang memuncak. Amara pergi begitu saja meninggalkan Ardan.

Ardan yang tak tau harus berbuat apa, hanya bisa terdiam di tempat, mengingat kembali apa yang ia katakan tadi terhadap Amara. Ardan bukan egois, ini adalah keputusan akhirnya. Amara tak mengerti, banyak harap yang dibebankan kepada Ardan. Ardan adalah harapan satu-satunya.

Di sisi lain, Amara tengah duduk di bangku taman. Mengingat perkataan Ardan tadi, membuatnya tak mampu untuk menahan air mata. Amara benci jarak, Amara benci perpisahan.

“Ardan jahat, hikss. Ardan gak mikirin aku,” isaknya.

“Aku bukannya egois, tapi aku benci jarak,”

Datang Untuk PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang