Hari ini di kelas Ardan adalah jadwal pelajaran fisika, dengan guru yang terkenal killer.Bukan hanya di sini, mungkin pada umumnya di sekolah-sekolah lain pun guru fisika pasti tergolong ke dalam guru yang killer. Ardan bergerak malas untuk mencatat apa yang telah dijelaskan oleh guru, walaupun Ardan tak menyukai fisika, setidaknya ia tetap menyatat karena prinsip Ardan adalah “tidak akan ada ilmu yang terbuang sia-sia di dalam kamusnya walau sesulit apapun itu”. Saat Ardan menuliskan kalimat terakhir, panggilan dari guru yang sedang berdiri di depan kelas membuat Ardan menyahutinya.
“Ardan, kamu tolong ambilkan buku Fisika untuk teman kelasmu di perpustakaan,” ucap Guru itu dan diangguki oleh Ardan. Setelah sampai di Perpustakaan, Ardan tersenyum ketika melihat ada Amara juga disitu. Ardan masuk lalu mendekati Amara, membuat sang empu menoleh ke arahnya.
“Hei, ngapain di sini?” tanya Amara.
“Mau ambil buku Fisika, kamu ngapain juga? Bolos ya?” goda Ardan membuat mata Amara melotot, tak terima dibilang seperti itu.
“Enggak ya, gak liat nih aku lagi ngapain?” Ardan melihat ke arah tangan Amara yang sedang memegang kuas melukis. Ardan paham, pasti gadis ini akan mengikuti lomba melukis lagi. Ardan kagum dengan Amara yang berprestasi, dan juga lukisannnya yang sangat indah.
“Yaudah, aku ke sana dulu ya” Amara mengangguk lalu melanjutkan kegiatan melukisnya.
Setelah mengambil buku yang cukup untuk teman-teman kelasnya, Ardan kembali menghampiri Amara yang tengah sibuk melukis. Ardan terpaku melihat hasil lukisan Amara yang belum sepenuhnya jadi, jari-jarinya memang sangat lihai mewarnai lukisan itu seakan-akan yang dilihat itu adalah nyata.
“Beneran keren sih kamu,” Ardan berdecak kagum.
Amara menoleh dengan senyum sumringah, “Emang iya? Ini belum selesai, Ardan.” Ardan menduduki dirinya lesehan di samping Amara sambil melihat detail lukisan Amara yang berada di depannya. “Belum selesai aja udah bagus banget, apalagi kalau udah selesai” Amara tersenyum mendengar pujian dari Ardan. Walaupun tak jarang orang-orang memuji hasil lukisannya, namun tak tau kenapa Amara merasa sangat senang saat dipuji oleh Ardan.
“Hmm, aku ke kelas dulu ya, Amara,” pamit Ardan karena memang sudah terlalu lama ia di perpustakaan. Takutnya pulang ke kelas, ia disemprot Guru killer yang sedang mengajar di kelasnya sekarang.
“Iya Ardan, jangan lupa lagi janji hari ini,” ucap Amara mengingatkan.
“Oke, Semangat ngelukisnya!” Amara terenyum hangat ia merasa… salting? Siapa yang tidak salting jika disemangati oleh anak famous di Sekolah dengan paras yang tampan? Itu hal yang wajar.
Kini Ardan sudah berada di depan kelas Amara. Kelas Ardan keluar lebih dulu dikarenakan gurunya ada urusan penting. Ardan duduk di bangku depan kelas Amara, sambil memainkan handphone nya dan sesekali memotret langit yang terlihat indah sehabis hujan. Ardan memilih jepretan yang menurutnya bagus, lalu hendak meng-upload di InstaStory nya dengan sedikit quotes.
“Tak ada yang tau akhir dari kisah yang akan kita rajut, sama halnya seperti kita yang tak pernah tau sehabis hujan akan ada langit mendung yang terlihat suram, atau langit mendung ditemani pelangi yang akan terlihat indah.”
Saat Ardan hendak menekan tombol upload, ada tangan yang menggapai bahunya membuat ia menoleh ke arah orang yang tangannya bertengger di bahunya. Terlihat senyum Amarah yang manis, membuat Ardan sedikit menghangat menikmati indahnya setiap inci wajah gadis yang ada di hadapannya. Amara tampak mengintip ke layar handphone Ardan.
“Lagi ngapain?” tanya Amara.
Ardan mengarahkan layar handphone nya ke arah Amara, menunjukkan hasil potretannya dan dipoles dengan secerca quotes yang spontan saja terlintas di pikirannya tadi. Suasana sehabis hujan, selalu saja berhasil membuat Ardan mendapatkan kosa kata yang bisa ia jadikan quotes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Datang Untuk Pergi
Teen FictionTugas Kelompok Bahasa Indonesia👍 Ini novel lite, jadi singkat, padat, dan tidak jelas👍 Selamat membaca🙏