“Indahnya senja memanglah tak akan abadi. Ia akan hilang seiring gelapnya malam, namun ia juga akan berjanji untuk kembali kepada siapa saja yang setia menanti.”
***
2 tahun kemudian.
Lelaki itu mengeratkan jaketnya lantaran bulir hujan yang mulai jatuh menghujam bumi. Ia meneduh sebentar, menunggu hujan untuk redah. Senyumnya tak pernah luntur sedari keluar dari Bandara tadi, banyak yang ia rindukan.
Ia merindukan keluarganya, dan juga merindukan gadisnya. Selama ia berada di sana, ia tak sama sekali mengirim kabar kepada Amara dikarenakan operator di sana tidak bisa mengirim pesan ke nomor Amara, tak tau juga kenapa.
Dilihatnya hujan mulai reda, ia pun melanjutkan perjalanannya, ia tak sabar untuk sampai.
Setelah beberapa lama di perjalanan, akhirnya Ardan tiba di rumahnya. Sungguh, ia rindu dengan suasana rumah ini.
Ibu keluar dengan masih menggunakan celemek, pertanda ia sedang memasak.
“Ardan, Ibu kangen banget!” teriak Ibu Ardan lalu memeluk erat sang anak seakan-akan Ardan akan menghilang jika pelukannya mengendur sedikit saja.
“Ibu, sesak…”
Ibu yang mendegar keluhan dari sang anak langsung saja mengendurkan pelukannya. Terdengar helaan nafas pelan dari sang anak membuat Ibu terkikik geli.
“Gimana kabar Ibu di sini?” Tanyanya.
“Alhamdulillah baik.”
“Alhamdulillah, ayo Bu masuk. Ardan laper, pasti Ibu masak Ayam balado kesukaan Ardan,’ tebaknya karena aroma yang masuk ke indra penciumannya.
Anak dan Ibu itu pun lalu masuk ke kamar dengar tangan Ardan yang menyeret kopernya dan juga tangan ibu yang sedang memeluk erat pinggang Ardan.
***
Setelah makan, membersihkan diri, Ardan langsung saja bersiap untuk menemui gadisnya. Ardan tidak memiliki nomor Amara, karena saat di luar negeri kartunya hilang.
Ardan mengambil jaket dan kunci mobilnya, tujuannya saat ini adalah rumah Amara. Ia melajukan mobilnya, menyusuri jalanan yang mulai padat di sore hari tanpa senja kali ini.
Setelah sampai, ia mengetuk pintu dan mengucapkan salam untuk orang rumah Amara. Pintu terbuka menampilkan Mama Amara membuat Ardan segera menyalaminya.
“Ardaaaan, kamu udah pulang?” teriak Mama Amara histeris.
“Sudah Ma, Alhamdulillah,” jawab Ardan dengan tersenyum ramah.
Ardan meyodorkan Sebuah totebag ke arah Mama, “ Ini oleh-oleh buat Mama,” ucapnya yang diterima dengan senang hati oleh mama.
“Makasih ya Ardan,” Ardanmengangguki.
“Amara nya ada, Tante?” Tanyanya.
“Tadi sih pergi, gak tau juga kemana,” jawab Mama Amara.
“Yasudah, Ardan pamit ya tante, cuma mau kasih itu,” Ardan menyalaminya lalu pergi meninggalkan rumah Amara.
Tujuan kedua, Rumah pohon. Ardan memasuki area rumah pohon yang sudah ditumbuhi banyak rumput panjang. Ia naik keatas dan nihil, tak ada Amara di sini.
“Amara, kamu kemana,” ucap Ardan lirih. Tak tau kah Amara bahwa Ardan sangat merindukannya?
Akhirnya Ardan memutuskan untuk pergi dari sana. Ia menuju café yang biasa ia kunjungi bersama Amara dulu. Ia juga rindu minuman Indonesia yang tak terdapat di sana.
Setelah sampai di café, ia segera memesan minuman favoritnya dan Amara dulu. Namun netranya tak sengaja menangkap gadis yang sedari tadi ia cari sedang duduk bersama lelaki. Siapa dia?
Setelah memesan Ardan pun langsung menghampiri Amara.
“Amara,” panggil Ardan.
Yang punya nama pun menoleh kala mendengar panggilan itu. Amara mematung mendapatkan bahwa Ardan lah yang memanggilnya. Lelaki yang dulu pernah ia tunggu kehadirannya untuk kembali, dan lelaki yang menjadi sumber bahagianya dulu.
“A-Ardan?” ucap Amara gugup.
“Siapa, Amara? tanya lelaki itu kepada Amara.
“Pacar” jawab Ardan singkat.
“Anda juga pacar Amara?” Tanya Ardan yang mampu membuat Amara menegang.
Lelaki itu mengangguk. Sakit. Ardan merasa sesak di dadanya. Ia rindu, kenapa malah dihidangkan dengan sebuah kenyataan yang tak ia harapkan? Salahkah dia untuk merindu?
Ardan menarik nafasnya pelan, lalu menghelakannya pelan juga. Ia berusaha kuat dan tak menjadi lelaki pengecut yang menangis di depan gadisnya.
“Terimakasih, sudah menemani Amara selama saya pergi,” jeda Ardan lalu menoleh kearah Amara.
“Amara, terimakasih lukanya. Ternyata Cuma aku yang berusaha untuk setia,” lanjutnya.
Air mata Amara luruh seketika, “A-Ardan, a-aku bisa jelasin,”
“Gak ada lagi yang perlu di jelasin, udah jelas kan?” ucap Ardan membuat Amara terdiam.
“Aku kira kamu di sini menunggu kedatangan a-“
”Aku nungguin kamu Ardan! Aku nungguin kamu selama 6 bulan, dengan kamu yang gak pernah kasih kabar, aku cape,” potong Amara sedikit menaikkan nada bicaranya. Lelaki yang berada di sebelahnya mengelus pelan punggung Amara yang mulai bergetar, Ardan yang melihatnya terdiam, seharusnya dialah yang melakukan itu kepada Amara.
“6 bulan? Kamu Cuma tahan sampai 6 bulan doang, Amara? Gimana aku? Yang mati-matian menahan rindu dan berusaha untuk selalu setia, kurang?” Ardan tersenyum miris.
“Andai aja kamu ka-“
“Gak perlu berandai-andai, Amara. Ini sudah terjadi. Aku pamit, terimakasih lukanya,” Ardan pergi dari tempat itu dengan berjuta goresan luka. Dadanya nyeri, hati nya sakit. Semua harapannya pupus. Semua perjuangannya lenyap begitu saja.
Ia kembali ke Rumah pohon yang ia kunjungi beberapa waktu yang lalu. Hanya di sini ia bisa menenangkan pikirannya.
“Tuhan, apakah memang ini akhir dari kisah ku? Aku harus kembali merasakan kehilangan? Kenapa engkau datangkan dia jika hanya untuk pergi?” Ardan terisak kecil. Biarlah jka ada yang melihat ia menangis, ia sedang benar-benar rapuh sekarang.
“perjuanganku sia-sia, aku harus menerima kenyataan yang pedih. Aku kembali rapuh, namun bedanya, dulu aku kehilangan sosok yang memang tak lagi bisa tuk kembali, kaarena Engkau lebih sayang dia, Tuhan. Namun sekarang, aku menemukan sosok pengganti yang kini, raganya memang ada, tapi hatinya tak lagi sama. Terimakasih, kau telah datang dalam kehidupanku. Walau itu hanyalah, datang untuk pergi.”
“Dia datang untuk pergi, padahal aku pergi untuk kembali. Dunia memang sebercanda itu.”
End.
KAMU SEDANG MEMBACA
Datang Untuk Pergi
Teen FictionTugas Kelompok Bahasa Indonesia👍 Ini novel lite, jadi singkat, padat, dan tidak jelas👍 Selamat membaca🙏