“Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi,bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya? Apakah Tuhan campur tangan di dalamnya?"
-Orizuka Quote-
***
Pagi yang indah, dengan langit yang memancarkan sinar matahari hangat dan hamparan rumput yang luas, menambah aksen menenangkan. Dengan seragam SMA Garuda Bangsa yang terpasang di tubuhnya, Amara sedang sibuk melukis pemandangan yang ada di taman sekolah ini. Bukan tugas dari pelajaran seni,bukan pula deadline untuk mengikuti lomba, namun Amara hanya melukis biasa, mencurahkan isi hati melalui mahakarya.
Dengan lihai jari-jemarinya menari di atas kanvas dengan kuas yang telah penuh dengan warna, kini lukisan itu telah selesai. Terlihat sederhana, namun elegan. Amara menyunggingkan senyumnya bangga atas apa yang telah ia buat. Merasa bosan duduk sendiri di bangku taman, ia memutuskan untuk kembali ke kelasnya.
Baru saja tungkainya hendak melangkah masuk kelas, suara teriakan kini masuk ke indra pendengarannya.
“Amara!”
Amara lantas menghentikan langkahnya dan melihat siapa orang yang memanggilnya dengan teriakan yang sedikit menyakitkan telinga.
“Kenapa, Ardan?” tanyanya.
“Ternyata Pak Iwan minta beritanya disertai dengan video lukisan-lukisanmu. Hasil lukisan kamu di Perpustakaan, kan?” tanya Ardan.
“Udah aku pindahin ke rumah, Dan,” jawabnya. Memang sebelumnya lukisan-lukisan Amara tersimpan rapi di perpustakaan, tapi beberapa hari yang lalu ia memutuskan untuk memindahkannya ke rumah.
“Yah, jadi gimana?” tanya Ardan lesu. Amara terkekeh melihat raut wajah Ardan yang tertekuk, terlihat sedikit menggemaskan. “Ke rumah aku aja, Ardan. Buat videonya di sana.” Amara memberikan solusi yang tak pernah terpikirkan oleh Ardan. Tak pernah terlintas di pikiran Ardan, akan pergi ke rumah Amara untuk menyelesaikan projek jurnalis yang diberikan oleh Pak Iwan.
“Boleh?” tanya Ardan polos. Amara mengangguk, lalu menarik tangan Ardan lembut menuju bangku yang ada di depan kelas Amara. Ardan menautkan kedua alisnya, kenapa ia diajak duduk?
“Ngomonginnya di sini aja, tadi kita menghalangi pintu masuk, Ardan,” ucap Amara membuat Ardan mengangguk paham. “Jadi dibolehin nih ke rumah kamu?” tanya Ardan lagi. Amara memutar bola matanya malas, ”Iya, Ardan. Kapan kamu bisa?” Ardan tampak berpikir, mengingat-ingat apakah ada jadwal hari ini. Jika tidak, ia akan memutuskan untuk menyetujui ajakan Amara hari ini, ia harus segera menyelesaikan tugasnya ini agar berita yang dibawakannya tidak terlalu basi.
“Kalau hari ini bisa. Yang punya rumah bisa enggak?” tanya Ardan.
“Hmmm, bisa”
“Oke, nanti pulangnya bareng aku aja,” tawar Ardan yang diangguki oleh Amara. Setelah itu Ardan pergi dan Amara pun masuk ke kelasnya karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.
Langit jingga sudah mulai menampikkan dirinya, sementara Amara, masih berdiri di depan halte sekolah, sudah satu jam lebih ia duduk sendirian di sini menunggu seorang yang tak kunjung datang, Ardan.
Tadi sebelum jam pulang sekolah, Ardan mengirim pesan kepada Amara, menyuruhnya untuk menunggu di halte. Namun hingga sekarang, Ardan tak menunjukkan batang hidungnya membuat Amara merungut kesal. Karena sudah lelah menunggu, akhirnya Amara memutuskan untuk memesan taksi online. Namun hal itu terhenti saat suara deru motor terdengar mendekati tempat Amara menunggu. Ardan turun dari motor dan membuka helmnya, terlihat raut wajahnya yang tampak lesuh.
“Amara, maaf ya. Tadi ada urusan mendadak sama anak-anak jurnalis,” ucap Ardan meminta maaf. Benar saja, tadi sepulang sekolah ia mendapatkan pesan dari Pak Iwan untuk mengumpulkan semua anak jurnalis. Ternyata Pak Iwan mengadakan rapat dadakan membuat Ardan tidak memliki waktu untuk mengabari Amara.
Amara hanya diam dan mengalihkan pandangannya dari Ardan. Ardan benar-benar merasa bersalah sekarang, ditambah lagi dengan raut wajah Amara yang terlihat sangat kesal dan juga lelah.
“Ayo pulang, besok aja aku main ke rumah kamu,” Ardan memberikan helm kepada Amara. Setelah itu mereka pun langsung pergi meninggalkan halte sekolah yang sudah sepi.
***
Ardan kini sedang bersantai di balkon kamarnya, menikmati angin malam yang selau saja bisa membuatnya tenang. Pikirannya kembali berputar dengan kejadian tadi, di saat ia mengecewakan Amara. Ia merasa sangat bodoh, baru saja ia mengenal Amara, tapi dalam sekejap ia sudah memberikan nilai buruk dihadapan Amara. Ardan menghembuskan nafas kasar. Ia kembali merasa bersalah, Amara benar-benar kecewa. Bahkan tadi di saat Ardan mengantarkan Amara ke rumahnya, gadis itu langsung masuk dengan wajah datar yang ia pasang dari halte sekolah.
Ardan mereguh sakunya untuk mengambil handphone. Ia mengetikkan pesan untuk dikirim ke Amara, berharap Amara mau memaafkannya.
Di sisi lain, Amara sedang bersandar di sandaran tempat tidur sambil memainkan handphone nya. Satu notif masuk, menampilkan nama Ardan. Amara pun membuka pesan tersebut.
“Amara, masih marah yah? Aku beneran minta maaf, aku gak maksud mau ingkarin janji, tapi tadi emang bener-bener gak ada waktu untuk sekedar pegang handphone.”
Amara terkekeh, segitunya Ardan meminta maaf kepadanya. Memang sih Amara kesal, tapi tadi sore itu Amara hanya berniat mengerjai Ardan, bukan benaran marah. Ternyata respon Ardan tak terduga, ia sampai mengirimkan pesan seperti ini dengan alasannya pula. Jari-jari Amara mulai mengetik sesuatu untuk membalas pesan dari Ardan.
“Iya, tapi aku masih kesal ya!”
Amara terkikik geli, mengerjai Ardan membuat mood nya membaik. Setelah itu, mereka pun larut dalam chatting, saling mengirim pesan dengan topik yang tak terlalu penting. Hingga akhirnya, jam dinding sudah menunjukkan pukul 10 malam, mata Amara mulai mengantuk. Ia pun merebahkan badannya yang semula hanya tersandar, menarik selimut hingga ke leher dan memejamkan matanya, menelusuri alam mimpi.
Di sebrang sana, Ardan tengah menuliskan sesuatu di layar laptopnya, dengan senyum yang selalu terpatri di wajahnya. Selain dengan Ibu, Ardan juga selalu mencurahkan apa-apa yang ia alami melalui tulisan. Profesinya sebagai jurnalis, membuat ia sudah terbiasa dengan tulis-menulis. Bukan hanya berita, ia juga jago dalam merangkai kata-kata puitis yang mengandung makna tersirat. Sehingga tak bisa dipungkiri, banyak wanita yang mengaguminya di sekolah maupun di luar sekolah. Bagaimana tidak, wajahnya yang tergolong tampan, dengan alis tebal dan rahang yang tegas, tubuhnya yang tinggi serta gingsul yang membuat aksen manis ketika ia tersenyum. Di tambah lagi ia seorang anak jurnalis yang pada umumnya pasti dikenal satu sekolah, memang cowok idaman seluruh kaum hawa.
Setelah merasa cukup dengan tulisan yang ia ketik, ia pun memutuskan untuk tidur. Setidaknya saat ia tidur nanti, ada kelegahan karena Amara ternyata hanya mengerjainya saja. Namun walaupun begitu, ia tetap merasa sangat bersalah karena membiarkan Amara sore itu menunggunya hingga sore. Ardan berjanji tidak akan pernah melakukan hal bodoh itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Datang Untuk Pergi
Teen FictionTugas Kelompok Bahasa Indonesia👍 Ini novel lite, jadi singkat, padat, dan tidak jelas👍 Selamat membaca🙏