Amara sedang menyeduh teh hangat yang ia buat beberapa menit yang lalu. Cuaca malam ini mengharuskan Amara meminum minuman yang hangat, dan juga mematikan penyejuk ruangan yang terpasang di kamarnya. Dinginnya malam terasa kuat menusuk hingga ke tulang. Amara beranjak untuk mengambil hoody yang agak tebal, untuk melindungi kulitnya dari terpaan angin malam ini.
Ia tersenyum ketika mengingat hal-hal manis yang sering Ardan tunjukkan kepadanya. Selama ia mengenal Ardan, hidupnya jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Ia merasa tenang, merasa terjaga, dan juga merasakan sosok lelaki yang selalu ada di sampingnya.
Ia merasa beruntung bisa mengenal Ardan,berteman hingga sedekat ini. Pikirannya beralih lagi ke hari dimana nanti ia dan Ardan akan pergi ke luar kota. Memang bukan hanya mereka berdua saja, tapi juga anak-anak jurnalis lainnya. Tadi sepulang sekolah, Amara sudah meminta izin kepada Mama nya perihal lomba jurnalis sekolah itu. Dan tanpa waktu lama, Mama nya mengizinkan, apalagi ia pergi bersama Ardan. Mamanya jadi merasa lebih lega.
Notif dari handphone membuyarkan pikiran Amara yang sudah melangkah jauh. Lagi-lagi ia tersenyum, karena tertera nama Ardan yang mengirimkan ia pesan.
“Jadi gimana? Boleh?” pesan masuk dari Ardan.
Baru saja jari-jemarinya hendak mengetik, Ardan sudah terlebih dahulu menelponnya, lebih tepatnya video call. Amara bergegas menuju ke depan cermin, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Setelah itu, ia pun mengangkat panggilan dari Ardan.
“Hai,” ucap Ardan di sebrang sana.
“Kenapa?” tanya Amara membuat raut wajah Ardan yang tampak di layar handphone nya itu berubah menjadi kesal. Amara mengernyit, memikirkan betul-betul kesalahan apa yang ia perbuat. Karena jarang-jarang Ardan terlihat kesal seperti ini, karena pada dasarnya Ardan adalah lelaki yang baik dan selalu sabar.
“Kenapa mukanya gitu? Jelek, “ ucap Amara lagi. Bukannya terhibur, Ardan malah semakin kesal ketika Amara dengan santainya mengatakan dirinya jelek.
“Chat aku kurang jelas? Terus kenapa juga bilang aku jelek?” seru Ardan kesal. Bukannya merasa bersalah, Amara malah tertawa mendengar penuturan Ardan barusan. Mengapa teman lelakinya ini jadi menggemaskan?
“Dih ngambekkan, cowo juga.”
“Yaudah, gimana? Diizinin Mama gak?” tanya Ardan.
“Tadi udah izin, diizinin,” jawab Amara.
“Besok packing nya, jangan H-1. Cewe itu kan ribet,” ucap Ardan santai, lain hal nya dengan Amara yang tampak tak santai.
“Enak aja! Itu bukan ribet namanya, tapi inisiatif yang tinggi dalam bepergian.” Sekarang giliran Amara yang kesal.
“Iya bawel. Oh iya, aku izin ya Ibu Negara, besok gak bisa ngantin bareng,” izin Ardan kepada sahabat gadisnya itu.
“Pasti bapak jurnalis kita ini sibuk kan besok? Udah tau Bapak,” ucap Amara.
“Nah tuh pinter”
“Udah yah, aku udah ngantuk,” ucap Amara lagi. Memang benar, cuaca dingin bisa membuat Amara mengantuk malam ini. Amara sudah memikirkan bagaimana ia akan berselimut tebal dan bergelung di atas kasur, tidur dengan nyaman di malam yang dingin ini.
“Iya, aku tutup ya, dah,” Ardan mengakhiri panggilannya.
Di kamarnya, Ardan sedang duduk di meja belajarnya, setelah beberapa lama berbincang dengan Amara melalu handphone. Ia tersenyum lega, kala mendengar sahabatnya itu mendapat izin dari Mama nya. Karena, sudah banyak rencana yang ia susun untuk kepergiannya ke luar kota selama tiga hari itu. Kegiatan ini juga bisa ia manfaatkan untuk berlibur bersama Amara. Tidak ada salahnya kan berlibur dengan sahabat?
Ardan membuka laptopnya, bukan untuk mengerjakan hal yang begitu penting, namun ia hanya akan mengetikkan sesuatu yang bisa saja menjadi terbitan selanjutnya, untuk koleksi pribadi.
Seperti yang kita ketahui, Ardan selalu mengetik apa yang ia rasakan, suka maupun duka. Itu ia jadikan sebuah karya, yang mungkin memiliki peluang jika di publish. Namun, Ardan tidak memikirkan sejauh itu. Yang ia pikir, itu hanyalah sebuah hobby saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Datang Untuk Pergi
Teen FictionTugas Kelompok Bahasa Indonesia👍 Ini novel lite, jadi singkat, padat, dan tidak jelas👍 Selamat membaca🙏