where we stand

6.4K 1K 137
                                    

Satu hal yang Heeseung baru sadari setelah ia menjadi orang tua ialah, di saat-saat tertentu, ia akan merasa kalau dirinya kehilangan kendali sepenuhnya terhadap situasi yang ada.

That, control is an illusion.

Bahwa ia tidak bisa tahu kapan Sunoo akan merasa sedih, marah, atau kecewa.

Tentu, Heeseung ingin menganggap dirinya sendiri sebagai seorang ayah yang bijaksana, tegas, dan lembut. Tetapi juga ia sadar masih ada banyak aspek yang belum begitu ia kuasai perihal menjadi sosok orang tua. Salah satunya adalah menenangkan Sunoo yang menangis.

Singkat cerita, tempo hari, ketika ia dan Sunoo sedang makan malam menghabiskan burger yang ia beli di perjalanan pulang dari kantor, ia memberi tahu Sunoo kalau dirinya akan pergi ke Jerman selama beberapa hari. Ia juga memberi tahu Sunoo kalau Jake akan tinggal di rumah bersama dengannya selama Heeseung tak ada, yang mana itu membuat Sunoo tersenyum lebar — di titik ini Heeseung sudah tidak lagi heran dengan anaknya yang selalu terlihat senang hanya karena mendengar nama Jake yang keluar dari mulutnya.

Ia ingat betul kala itu Sunoo tersenyum dan terkesan baik-baik saja saat Heeseung memberi tahunya.

Namun ini bukanlah pertama kalinya Heeseung melewati situasi seperti ini. Ia yakin nanti ketika mereka sudah sampai di bandara, Sunoo akan menangis sejadi-jadinya, seolah-olah Heeseung akan pergi dan tak kembali lagi.

Dan dugaannya tepat.

Begitu sampai di tempat parkir bandara dan turun dari mobil milik Jay, Sunoo menangis. Ia melingkarkan kedua lengannya di leher Heeseung, mendekapnya erat-erat, seakan-akan dengan begitu Heeseung tidak jadi pergi — yang tentunya itu sedikit membuat hati Heeseung seperti dihancurkan. Namun apa boleh buat, ini adalah tuntutan pekerjaannya.

Ia menggendong Sunoo dan berulang kali mengusap air matanya, membuatnya sedikit kewalahan karena ia juga butuh membawa barang-barangnya. Untungnya ada Jay, adik sepupunya itu membantu Heeseung untuk menurukan kopernya dari bagasi dan mereka pun berjalan masuk ke terminal bandara untuk penerbangan internasional.

"Riki mana?" tanya Jay sambil dirinya menarik koper silver milik Heeseung.

"Dia udah nunggu di boarding lounge."

Lelaki itu menghentikan langkahnya, "Ya udah Abang langsung check-in aja. Sunoo biar sama gue," kedua lengannya sudah ia buka, siap untuk menggendong anak yang masih menangis. Sedangkan Heeseung tak bergeming. Ia masih menggendong Sunoo dan mengusap punggungnya selagi matanya sibuk mencari kesana kemari di tengah banyaknya kerumunan orang. "Nyariin siapa sih, Bang?"

"Jake."

Ekspresi Jay sedikit terkejut. Namun di detik berikutnya, Jay memberinya tatapan penuh arti — seperti mengatakan "Oh, so you're at that stage already now?" dengan matanya. Heeseung mengabaikan tatapannya, tidak ingin adik sepupunya itu menanyainya yang macam-macam dulu untuk saat ini.

Sementara itu, setelah beberapa menit kemudian, tangisan Sunoo mulai reda meskipun sesekali ia masih terisak. Lingkaran tangannya tak meregang sedikit pun, masih sama seperti pertama kali ia memeluk Heeseung.

Ia melihat jam tangannya — 11:07.

Jake seharusnya sudah ada di sini sekarang. Jika dalam sepuluh menit ia tidak datang juga, Heeseung mau tidak mau harus — 

"Sorry, busnya kejebak macet di jalan," suara itu membuatnya membalikkan badan, melihat seorang pemuda yang baru saja tiba. Nafas lelaki itu masih sedikit terengah, dan poni rambutnya terlihat sedikit berantakan. "Hai," sapanya, saat matanya bertemu dengan milik Heeseung. Senyuman manis muncul di bibirnya. (Dan Heeseung harus menahan dirinya sendiri untuk tidak mengulurkan tangannya dan merapikan rambutnya. Lalu pandangan Jake beralih ke badan yang lebih kecil, yang sedang direngkuh. "Hey, buddy. How you doin'?"

someone to take you home | HEEJAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang