"Parah sih lo, Bang, baru daftarin anak lo ke TK."
Heeseung menghela nafas, "Sumpah demi apa pun, gue tuh inget kalo kudu daftarin Sunoo. Tapi—"
"Lo ga ada waktu?" potong Riki.
"Gue sibuk banget, Rik. Lo tau sendiri gue juga baru aja selesai pindah-pindahin barang ke rumah baru. Belom lagi masalah kerjaan," balas Heeseung.
Mungkin apa yang Heeseung katakan terdengar seperti alasan murahan. Namun nyatanya, tidak ada secuil kebohongan, atau bahkan hiperbola, di dalam ucapannya.
Menjadi kepala editor di suatu perusahaan penerbit buku terbesar di Korea sering kali membuatnya kelimpungan. Rasanya dua puluh empat jam dalam sehari tidak cukup bagi pemuda berumur 33 tahun tersebut. Me-review berkas dan manuskrip buku sudah menjadi makanan sehari-harinya. Tidak jarang pula bagi Heeseung untuk kehilangan waktu bersantainya di akhir pekan.
Dan, oh, jangan lupakan juga peran krusialnya kalau sedang ada book fair yang berlangsung. Di mana ia harus terbang ke Jerman atau Amerika, contohnya, dan menetap di sana selama kurang lebih dua minggu sampai acaranya selesai. Sebisa mungkin ia memastikan untuk mengantongi paling tidak satu hak penerbitan buku yang sudah disepakati sebelumnya oleh perusahaan.
Sudah terlampau banyak gelas-gelas kafein yang ia habiskan untuk menemaninya di malam-malam sibuk. Rasanya jika Heeseung disuruh untuk menjabarkan bagaimana lelah dirinya, ia bingung harus memulai dari mana.
Meski begitu, tak pernah sekali pun orang-orang di sekitarnya menangkap keluhan yang keluar dari mulut Heeseung. Ia sadar, mengeluh tidak meringankan bebannya. Dan lagipula seluruh waktu dan tenaga yang ia habiskan di tempat kerja benar-benar ia dedikasikan hanya untuk seorang saja. Satu-satunya anak yang ia punya, Lee Sunoo.
Berat rasanya ketika ia ingin mengeluh jika satu-satunya yang Sunoo punya hanyalah dirinya.
"Ya lagian lo kenapa pake acara pindah segala, sih, Bang? Padahal apartemen lo yang lama masih bagus."
Dan pertanyaan kali ini mampu membuat Heeseung sepenuhnya menaruh atensi pada Riki—teman sekaligus asistennya di tempat kerja.
"Terlalu banyak kenangan. Gue ga suka."
Riki bungkam, sedikit menyesal telah bertanya hal itu pada yang lebih tua. Seolah-olah ia seperti baru saja mengingatkan Heeseung akan masa lalunya yang pahit.
Dan jika boleh jujur, Riki terkadang bisa jadi manusia paling canggung bila hal-hal seperti ini terjadi. Bukannya meminta maaf, ia malah lebih memilih menunduk, sok menyibukkan dirinya sendiri dengan apa yang ada di hadapannya.
Sepuluh menit terlewat begitu saja. Tidak ada satu pun dari mereka yang membuka pembicaraan lagi. Yang memecah kesunyian hanyalah sayup-sayup suara dengung dari pendingin udara serta suara mesin fotokopi di luar ruangan mereka yang terbatasi oleh dinding kaca. Beberapa kali Heeseung membalik halaman di tangannya dan mengetuk-ngetukkan pensil kayunya ke meja.
"Lo udah hubungin tim PR buat mulai nyusun press release?" tanya Heeseung.
"Udah," jawabnya. Ia masih merasa sedikit kikuk dengan tensi di antara mereka. "Jangan lupa, Bang. Nanti lo ada conference call sejam lagi, sama ada staff meeting jam sepuluh." lanjutnya.
"Ya," jawab yang lebih tua singkat.
"Oh iya, Bang Keeho tadi bilang ke gue katanya minta tambahan waktu sedikit lagi buat nyelesain manuskripnya dia."
Heeseung menghela nafas, seketika merasakan pening di kepalanya. "Ya udah. Bilangin Keeho, jangan lebih dari tiga hari atau gue ga bakal ngasih release date ke dia."
Riki meringis mendengar ancaman yang dikatakan Heeseung.
Sebenarnya Heeseung bukan orang yang berhati dingin. Ia sangat ramah, malahan. Hanya saja, kalau untuk sesuatu yang menyangkut masalah pekerjaan, ia mau semuanya berjalan sesuai dengan rencana yang ia miliki. Itu lah mengapa para atasan di perusahaan tersebut sepakat menjadikan Heeseung sebagai editor terbaik di tahun ini.
"Bang, lo dah selesai baca manuskrip yang gue kasih kemaren?" tanya Riki selagi ia sibuk mengaduk krim di kopinya.
Sedangkan Heeseung tidak menoleh sedikit pun. Maniknya tetap tertuju pada manuskrip novel yang ada di tangannya, "Gue udah baca beberapa halaman. Ga tertarik," nada bicaranya seperti tak acuh.
"Bang Hee, serius itu bagus banget novelnya. Itu satu-satunya manuskrip yang gue kasih ke lo dari sekian banyak manuskrip lainnya, soalnya emang sebagus itu alur ceritanya. Please, baca sampe selesai. Gue yakin lo bakalan bilang itu bagus juga," singkatnya, Riki memohon.
"Listen, Riki," ia sejenak menaruh manuskripnya di meja dan melihat yang lebih muda tepat di matanya. "Gue ga tertarik sama novel romance. Kalo lo mau manuskrip itu diterbitin, lo bisa minta tolong editor yang lain. Be it Keeho atau Taehyun, terserah. Tapi yang jelas bukan gue."
Heeseung berdiri, hendak meninggalkan tempat itu dan Riki di dalamnya. "E-eh, mau kemana, Bang?" tanya Riki kebingungan.
"Ke kantornya Theo bentar."
Dan tinggal lah Riki seorang diri di situ dengan lembaran-lembaran kertas yang menumpuk di mejanya, seolah minta untuk diselesaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
someone to take you home | HEEJAKE
RomantizmKisah di mana hidup Jake menjadi simpang siur setelah ia bertemu dengan seorang single parent bernama Heeseung. Atau sebaliknya, di mana Heeseung selalu berusaha merasionalkan pikirannya sendiri tiap kali ia melihat interaksi antara anaknya dengan s...