wish you felt the way I do

2.6K 280 68
                                    

Content warning // homophobia

───────────────────────

Isi pikirannya kalut. Heeseung khawatir apabila mereka mengambil waktu Jake terlalu banyak, namun juga ia tak bisa menyangkal bahwa ia merasa senang saat anaknya mengatakan kalau Jake setuju untuk menonton film bersama mereka.

Berkali-kali Heeseung menanyakan Jake melalui telepon di beberapa hari yang lalu, apakah Jake benar-benar tidak keberatan untuk menghabiskan akhir pekannya di tempat tinggal mereka, dan berkali-kali juga Jake menjawab dengan tawa manisnya, mengatakan kalau ia tidak keberatan sama sekali.

Jadi di sinilah Heeseung, ketika langit di Jumat sore dipenuhi semburat ungu dan jingga, ia sibuk menurunkan dua tas berisi barang belanjaan dari bagasi mobilnya. Sementara Jake menggendong Sunoo dan berdiri di depan pintu rumahnya, menunggu pria yang lebih tua untuk membuka kunci.

Bukan pertama kalinya bagi Heeseung untuk melihat pemandangan seperti ini, namun juga bukan berarti hal ini tidak memiliki efek apa-apa lagi untuknya. Ia yakin bila ia menanyakan hal ini pada Jake, pemuda itu akan menjelaskan padanya bagaimana cara kerja otak melepaskan neurotransmitter atau hormon di kala manusia merasakan perasaan seperti ini.

"Jake-ssaem, minggu lalu Ddeonu nonton Encanto lho!" kata anaknya dengan cengiran lebar yang terplaster di wajahnya.

"Oh ya? Menurut Sunoo gimana filmnya? Bagus?"

"Mm! Lagu-lagunya bagus!"

Heeseung yang berjalan mendekat, membalas sambil tangannya sibuk merogoh kunci yang ada di saku celana, "Sunoo waktu itu tanya banyak banget di sepanjang film," ketika pintunya berhasil dibuka, ia berdiri menyamping, mempersilakan Jake dan anaknya untuk masuk terlebih dahulu. "Untungnya lagu-lagunya enak jadi dia tetep bisa enjoy. Tapi kalo misal ga ada lagu sama sekali, kayaknya dia bakal makin bingung."

Sunoo meminta turun dari dekapan gurunya karena ingin membuka sepatu sendiri. Saat sepatu warna yang beda sebelah itu terlepas, anak tunggal dari keluarga Lee itu kemudian berlari ke kamar untuk bermain sendiri, meninggalkan gurunya dan sang ayah untuk lanjut berbincang di ruang tamu.

Jake bergumam, "Ngga heran sih. Sebenernya film Encanto tuh kompleks untuk ukuran film anak-anak. Bahkan menurutku itu lebih cocok ditonton buat orang dewasa soalnya dia ngebahas intergenerational trauma. Dan tiap karakter di film itu kan juga punya trauma responsnya masing-masing.

"Kayak Luisa, di mana dia ngerasa dia harus nanggung beban semua orang, baru kemudian dia ngerasa pantes. Isabela, yang mana kalo dilihat dari parental perspective, dia kayak gitu karena keluarganya bikin dia ngerasa kalau dia harus tampil sempurna terus tiap saat. Terus ada Bruno, yang mana menurutku dia ngegambarin mental health issues — quiet anxiety, isolation, you name it."

Heeseung mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Jake. "Saya juga lumayan kaget waktu nonton filmnya karena temanya lumayan berat."

Ia kembali mengangkat dua tas belanja yang tadi sempat ia taruh di lantai karena harus melepas sepatunya. Kakinya hampir membawanya beranjak dari situ untuk ke dapur, namun ia menyadari raut wajah Jake yang terlihat sedikit berbeda. Seperti ada guratan kesedihan yang bersembunyi di balik maniknya.

"You okay, Jake?"

Yang lebih muda tersadar dari lamunannya, "Hm? Iya. Aku cuma — " ia menghela nafas, lalu tersenyum meski Heeseung tahu itu terlihat dipaksakan. "Keinget aja aku sempet nangis pas nonton itu."

"Oh..." Kedua sudut bibirnya refleks turun. "Kamu ngerasa relate kah sama salah satu karakter di situ?"

"Kinda...?" jawabnya seolah tak yakin.

someone to take you home | HEEJAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang