BAB 6

322 32 0
                                    




Deringan alarm dari ponsel memenuhi sebuah kamar minim pencahayaan. Satu menit. Dua menit. Akhirnya sebuat tangan lentik terulur dari balik selimut, menyentuh tombol samping ponsel keluaran terbatu itu hingga deringannya berhenti. Namun kesunyian di kamar itu tidak bertahan lama tatkala suara dering alarm—kali ini dengan nada berbeda, kembali terdengar.

Kalila mengerang dari balik selimut sebelum menyingkap benda tebal dan hangat tersebut, mengekspos tubuhnya dengan suhu rendah ruangan akibat AC yang masih menyala hingga membuatnya bergidik kedinginan.

Kalila bangkit dan beranjak menuju meja kecil panjang tepat di seberang ranjang dan mematikan jam alarm digital yang selalu ia setel untuk berbunyi sepuluh menit setelah alarm ponselnya berbunyi—yah, mungkin sampai sini sudah jelas bahwa Kalila bukanlah morning person.

Namun lagi-lagi, jika bukan karena tindakan impulsifnya kemarin, ia tidak akan perlu bangun jam 6 pagi di hari sabtu. Alasan dirinya selalu berakhir melakukan hal-hal yang ia tahu akan disesalinya masih menjadi salah satu hal yang sering Kalila tanyakan pada dirinya sendiri sampai detik ini.

Kalila membuka tirai yang menutupi dinding kaca tembus pandang yang menghadap tengah kota. Langit sudah terang namun belum cukup terang untuk menyilaukan pandangannya. Dari atas sini—lantai 16 gedung apartemennya, Kalila bisa melihat jalanan jakarta yang masih sangat lenggang. Pemandangan yang akan sulit didapatkan ketika hari kerja.

Pemandangan yang seharunya cukup untuk dipandang, bukan untuk dirasakan.

Kalila menghembuskan napas kasar. Baiklah. Tidak ada gunanya berlama-lama menyesali keputusan yang telah dibuatnya. Lebih baik ia bergegas mandi—ah tentu saja setelah meminum segelas kopi karena Kalila baru bisa tidur pukul 4 pagi tadi, yang artinya ia baru tidur selama 2 jam. All thanks to insomnia kronis yang dimilikinya.

________

Kalila berdiri di halte bus trans jakarta yang berada tidak jauh dari gedung apartemen, menunggu angkutan umum tersebut membawanya pergi ke stasiun MRT Bundaran HI, tempat janjiannya dengan Reagan.

Selagi menunggu, tanpa sadar Kalila kembali memperhatikan pakaian yang dikenakanannya. Oversized tee berwarna hitam dengan gambar bulan dan bintang, dipadu dengan highwaist loose jeans berwarna biru pudar dan sneakers putih. Di bahunya tersampir shoulder bag berwarna putih yang hanya berisikan tisu, ponsel, powerbank, beberapa kartu dan uang tunai.

Setelah menunggu sekitar 5 menit, bus yang ditunggu Kalila datang. Penumpang di dalam bus hanya berjumlah empat orang termasuk dirinya. Salah satu hal yang disenangi Kalila ketika menaiki transportasi umum di hari libur. Dan perjalanan dari apartemennya menuju bundaran HI dengan bus ini hanya memakan waktu 15 menit.

Ting!

Sebuah pesan masuk dari Reagan.

Reagan: Saya sudah sampai di pintu samping GI

Kalila: Great, tunggu 5 menit

Sesampainya Kalila di halte bus tujuan, ia langsung bergegas menuju pintu samping mall Grand Indonesia dimana ia menyuruh Reagan untuk naik ojek dan turun di sana.

Dari jauh, Kalila bisa melihat Reagan yang tengah fokus menatap layar ponsel. Pria itu memakai setelan kasual chino pants berwarna cokelat dipadu dengan crew-neck sweater warna biru tua yang digulung hingga tiga per empat serta sneakers putih.

"Hei," sapa Kalila, menyadarkan Reagan yang langsung tersenyum menyambutnya.

"Hei."

"Kamu belum sarapan?" tebak Kalila yang dijawab gelengan kepala.

The Lost StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang