Bab 20

313 24 0
                                    

"Kalila," Kalila mendongak dan mendapati Reagan yang berjalan cepat ke arahnya dengan raut khawatir.

"Ponsel kamu mati—" kalimat itu terhenti ketika Reagan menyadari wajah pucat Kalila.

"Kamu sakit?" raut wajahnya menggelap ketika melihat Kalila yang menggeleng dengan suara tercekat.

Something happened. Something really bad.

"Ayo kita masuk ke mobil dulu," ujar Reagan melingkarkan lengannya di bahu Kalila.

Reagan membawa mereka membelah kemacetan Jakarta. Ia menebak ada sesuatu yang terjadi sejak tadi siang ketika Kalila menutup panggilannya tiba-tiba dan tidak bisa dihubungi lagi. Sialnya ia sedang terjebak di rapat panjang bersama para board of directors dan hanya bisa datang ke sini sesegera mungkin setelah rapat tersebut berakhir.

"What happened?" tanya Reagan memecah kesunyian. Satu tangannya tetap tidak lepas menggenggam tangan mungil yang gemetar itu.

Kalila hendak menggeleng, mencoba berbohong pada Reagan bahwa semua baik-baik saja, juga pada dirinya sendiri bahwa tidak ada hal yang perlu ia takutkan. Bahwa hidupnya sudah damai seperti sedia kala.

'Saya peduli sama kamu.'

Tapi kemudian kata-kata reagan waktu itu kembali terngiang dan detik itu juga, Kalila memutuskan ia tidak akan lagi berpura-pura di depan pria yang mengungkapkan ketulusan padanya itu.

Jadi Kalila memulai kisahnya.

"Namanya Dimas dan kami pernah hampir menikah," Kalila memulai dengan suara bergetar. Berasamaan dengan kalimatnya, ia bisa merasakan Reagan mengeratkan genggamannya.

"Kami sudah kenal selama sembilan tahun dan pacaran selama lima tahun.  Seharusnya cukup lama untuk benar-benar mengenal satu sama lain. Oh betapa kelirunya aku waktu itu," lanjut Kalila tanpa menunggu respon Reagan.

"Dua tahun pertama pacaran, hubungan kami hampir nggak ada masalah. Kami ketemu hampir setiap hari, pergi ke kafe-kafe tiap weekend, liburan keliling Indonesia. Pacaran sama dia rasanya kayak mimpi karena terlalu sempurna, dan seharusnya aku sadar kalau hal sempurna hanyalah mimpi buruk yang tertunda.

"Di tahun ketiga, dia ambil S2 kota lain dan mulai dari sana, sikapnya berubah. Awalnya dia nggak bisa nepatin janjinya untuk ketemu, lama-lama jadwal ketemu kami setiap dua minggu sekali juga nggak bisa dia jalanin. Alasannya macam-macam. Entah kerja kelompok, tugasnya deadline, dosennya resek, dan alasan-alasan lain yang seharusnya aku sadar nggak masuk akal.

"Lea jadi orang pertama yang curiga, lalu beberapa temanku yang lain juga bilang ada yang nggak beres. Tapi aku nggak peduli karena bagi aku Dimas bukan orang yang seperti itu. Aku lebih percaya dengan Dimas yang kukenal selama sembilan tahun dibandingkan Dimas versi orang lain. Ditambah aku tau sulitnya jadi mahasiswa S2 dan sebelumnya Dimas selalu ada untukku. Jadi ketika Dimas melamarku di tahun ke lima, ada sedikit rasa bangga karena aku memilih untuk memercayainya. Sampai akhirnya hari itu datang—" kalimat Kalila tiba-tiba tercekat di tenggorokannya. Semua bentuk emosi yang ia rasakan pada hari itu perlahan-lahan memaksa muncul.

Melihat hal itu, Reagan refleks menepikan mobilnya di pinggir jalan. Tubuhnya memutar menghadap Kalila, meraih kedua tangan lentik milik wanita itu dan menangkupnya.

"Hei, it's okay. Kamu nggak harus ceritain semuanya."

Kalila menggeleng, mengatur napasnya. Kehangatan tangan Reagan dan suara lembut pria itu cukup membantu Kalila mengontrol pikirannya yang sempat kacau.

"Aku mau percaya kamu," ucap Kalila, mengunci tatapan cowok itu dengan keyakinan terpantul di kedua maniknya yang basah. "This is me trying to trust you."

Kali ini napas pria di hadapannya itu yang tercekat.

Kalila menarik napas dalam, "Acara pernikahan kami cukup besar dan meriah karena kami mau hari itu menjadi hari yang nggak akan terlupakan. Tampaknya Tuhan mengabulkan doaku, karena sampai detik ini, hari itu benar-benar hari yang nggak bisa aku lupakan—bahkan saat aku udah berusaha sekuat tenaga untuk lupa.

"Aku bisa ingat jelas kejadian di hari itu seolah-olah itu baru terjadi kemarin. Aku ingat wajah kalut staff EO yang datang menghampiri aku dan Lea di tengah perjalanan kami menuju ruang acara. Aku ingat suara pecahan kaca dari dalam ruangan. Aku ingat saat wanita itu berteriak kalau anak yang digendongnya merupakan anak Dimas. Aku ingat isi surat yang bilang bahwa anak itu memang anaknya Dimas. Aku ingat ekspresi kecewa kedua orang tuaku. Aku ingat wajah Dimas yang menyesal. Aku ingat tatapan kasihan dari tamu-tamuku. Aku ingat bisikan-bisikan jahat dari mereka. Aku—" lagi-lagi Kalila tercekat. Napasnya memburu akibat paru-parunya yang kekurangan oksigen.

Tes

Setitik air mata lolos menuruni pipinya yang memerah, disusul dengan tetesan-tetesan lainnya.

Dalam sekejap Reagan melepaskan seatbelt dan meraih Kalila ke dalam pelukan.

Untuk yang kedua kalinya, air mata Kalila membasahi kemeja pria itu. "Aku ingat semuanya, Reg," isak Kalila, tangannya mencengkram kemeja Reagan erat-erat.

Reagan mengusap punggung Kalila. "I'm sorry,"ucapnya lirih, benci karena hanya itu yang bisa ia katakan untuk saat ini.

"Aku masih ingat jelas hari itu. Aku bahkan nggak bisa tidur tanpa bantuan obat karena aku takut ketika aku tutup mata, mimpi buruk itu kembali lagi," bisik Kalila pilu.

Reagan mengernyit ketika merasakan  sesuatu di dalam dirinya seolah tersayat ketika mendengar pengakuan Kalila.

"Akhir-akhir ini aku pikir hidupku sudah mulai damai. Aku mulai berharap aku bisa kembali ngerasain bahagia kayak dulu lagi ... sampai tiba-tiba aku dapat kiriman bunga dari dia."

Seketika tubuh Reagan membeku dan ekspresinya menggelap. Buket bunga yang tadi siang Kalila tanyakan padanya, ternyata berasal dari makhluk rendahan itu.

"Aku nggak tau gimana caranya tapi dia juga dapar nomor baruku," Kalila tersedu.

"Dia bilang apa?" tanya Reagan dengan suara rendah yang menusuk.

"Dia mau ketemu denganku dan memperbaiki kesalahannya," bisik Kalila. Isakannya telah berhenti namun kini ia tidak punya tenaga lagi untuk bersuara.

"Hari ini?" Suara Reagan kini terdengar semakin asing.

"Dia bilang aku yang tentukan waktunya." Kalila bersandar pada bahu Reagan, nenutup mata. Lelah.

"But I'm scared, Reg" bisiknya.

Reagan mengeratkan pelukannya, "Don't be. Aku nggak akan biarin dia nyakitin kamu lagi—nggak, aku bahkan nggak akan biarin dia ketemu kamu."

Tidak ada respon Kalila selama beberapa menit namun Reagan membiarkannya, tangannya kembali mengusap punggung wanita itu yang ternyata menyimpan trauma besar. Bahkan jika Kalila tertidur saat ini juga akan lebih baik dibandingkankan kembali menangis seperti tadi.

Namun entah pada menit keberapa, Kalila kembali bersuara.

"Janji?"

"Aku janji," balas Reagan penuh keyakinan.

~~~

The Lost StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang