Bab 26

268 20 1
                                    

"I ... was in denial," Kalila memulai cerita tentang malam itu. Sempat muncul sekelibat ragu di benaknya. Lagipula siapa juga yang akan dengan senang hati menceritakan momen-momen terburuk mereka? Namun Kalila tahu bahwa ia tidak akan bisa berdamai dengan dirinya sendiri, lebih-lebih menjalin hubungan dengan siapapun lagi jika dirinya masih terbelenggu masa lampau.

Jadi di sini lah ia, satu per satu mencoba melepaskan hal-hal di masa lalu yang sempat mengikatnya dengan cara menceritakannya pada Reagan.

"Aku pikir kejadian di hari pernikahanku bukan apa-apa, bukan hal yang bisa membuatku jatuh terpuruk. Many people got cheated, so what's the big deal, right? Dalam kasusku, aku justru beruntung karena tahu sebelum kami terikat janji sehidup semati," Kalila tertawa miris mengingat pemikirannya waktu itu.

"Jadi suatu hari, aku bertekad untuk buktiin ke semua orang—ke Lea, orang tuaku, dokterku, dan juga ke diriku sendiri, kalau aku nggak serapuh yang mereka kira. Aku dapat undangan karena pengantin wanitanya klienku, dan aku memutuskan untuk pergi sendiri tanpa bilang siapapun. Rencanaku sederhana, cuma datang, menikmati pesat sebentar lalu pulang dengan perasaan lega.

"But like I said, I was in denial, remember? Segera setelah aku masuk ke venue, kepalaku langsung kembali ramai mengalahkan bisingnya suara pesta. Waktu aku sadar, aku lagi membanding-bandingkan pesta itu dengan hari pernikahanku, nggak lama diikuti suara-suara dari pestaku di masa lalu yang pelan-pelan kembali dan membuat aku overwhelmed. Pada titik itu aku sadar aku butuh obatku, tapi sialnya aku nggak bawa."

"That's why you took the tequilla," ucap Reagan seperti tengah mencocokkan kepingan puzzle.

"Yes, and very recklessly at that. Tenggorokanku langsung terasa terbakar dan kepalaku mendadak ringan. Tanpa sadar aku sudah jalan keluar pesta dan berhenti di dermaga itu. Tapi sayangnya suara-suara di kepalaku tetap nggak mau diam, malah semakin ramai."

"Suara-suara itu—kamu sering mendengarnya?"

Kalila mengangguk, "Sejak hari pernikahanku, suara-suara itu kayak hidup di kepalaku setiap saat dan cuma hilang ketika aku minum obat, itu pun sementara. Terkadang mereka hanya suara samar-samar, tapi di hari-hari tertentu mereka bisa sangat berisik sampai aku nggak bisa bedain mana realita dan mana yang cuma di kepalaku aja.

"And that night, they became so loud that at one point ... I just felt so tired of this life," Kalila tertawa getir sedangkan Reagan mengeratkan genggamannya.

"Ditambah aku yang nggak bisa berpikir jernih karena alkohol jadi paket lengkap buat aku spontan ngelakuin hal-hal bodoh, seperti melompat ke danau dalam keadaan mabuk."

Kalila bisa melihat tatapan pria itu yang semakin menggelap disertai getaran singkat di maniknya selama ia bercerita.

"Kamu masih dengar suara-suara itu sekarang?"

Kalila tersenyum simpul, "Anehnya, setiap aku lagi sama kamu, mereka nggak pernah muncul. It's pleasantly quite, now."

Reagan tersenyum lega mendengar jawaban Kalila, "Thank God."

"Kapanpun kamu ngerasa overwhelmed karena suara-suara itu, kamu bisa panggil aku," netra cokelat terang Reagan menatap Kalila hangat, namun nada serius di ucapannya tidak terbantahkan.

"Kamu jadi terdengar seperti jimat."

"I'll gladly be your personal charm," Reagan mengedipkan satu mata, membuat wanita di hadapannya tertawa.

Reagan tersenyum hingga lesung pipinya hampir terlihat, "Tapi aku serius, Kalila. Kamu bisa kasih tau aku semua yang kamu pikirkan dan rasakan. Cerita semua hari-hari baik dan juga buruk kamu. Cerita sama aku ketika kamu lagi senang, sedih, bingung. I want them all."

Deg! Dada Kalila berdesir dan perutnya tergelitik seolah ada sekawanan kupu-kupu menari di sana.

Pria ini ... bagaimana dia bisa mengatakan semua itu dengan tenang? Bagaimana dia bisa mengatakan semua itu ... tanpa menyadari apa efeknya bagi Kalila.

Akhirnya Kalila cuma bisa mengangguk kaku.

"Alright, next questions?" tanya Reagan mengalihkan topik karena menyadari Kalila yang salah tingkah.

Namun tampaknya perkataan Reagan sebelumnya meninggalkan efek yang cukup kuat bagi Kalila hingga otaknya kesulitan menemukan pertanyaan baru.

Kalila menggeleng,"I'll pass."

Reagan menaikkan satu alisnya, "As you wish," jawab Reagan, dan ketika senyum miring itu kembali, Kalila langsung menyesali ucapannya.

"So, Kalila, for my last question. Do you still think I'm hot?" kerlingan jahil itu kembali. Kalila tahu Reagan sengaja melakukan itu untuk mencairkan suasana, tapi tetap saja ia tidak bisa mengontrol detak jantungnya.

Kalila secara refleks membuang muka, tidak bisa—lebih tepatnya tidak ingin menjawab. Meski begitu, siapapun yang melihat wajah memerahnya pasti langsung bisa menebak jawabannya.

Reagan tertawa renyah, "Okay, do you have anymore questions?"

Kalila masih tidak menjawab.

"Well, looks like we already have a winner, don't we?"

"Licik," gerutu Kalila memajukan bibirnya, membuat Reagan kembali tertawa. "Jadi apa wish kamu?"

"Enggak sekarang, aku akan simpan untuk nanti."

Kalila memicing, "Hal aneh apa yang sedang kamu rencanakan?" tukasnya..

"Hey! I thought you trust me, no?" Reagan memasang wajah terkejut yang dibuat-buat.

"Hmm," Kalila menatap langit-langit jerami seraya mengetuk-ngetuk tulunjuknya di atas meja. Bibirnya terkulum seolah tengah menimbang suatu hal yang sulit.

"I'm reconsidering it now," ucap Kalila lalu menjulurkan lidah. Tanpa aba-aba ia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju gedung hotel, meninggalkan pria itu yang terperanjat sendirian.

The Lost StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang