Bab 11

281 27 0
                                    

Untuk pertama kalinya setelah melewat berhari-hari tanpa tidur, Kalila terbangun dengan perasaan segar. Untuk pertama kalinya juga setelah sekian lama, ia tidak terbangun di pagi buta ataupun bermimpi di dalam tidurnya.

Ketika Kalila bangkit, sebuah handuk kecil jatuh dari kepalanya. Ia mengernyit memegang handuk tersebut lalu menyadari sebuah mangkok berisi air dan beberapa obat penurun demam tergeletak di nakas.

Ah, Reagan! Kalila hampir lupa.

Refleks ia memegang dahi. Namun suhu badannya terasa normal.

Jangan bilang bahwa semalam Reagan tidak langsung pulang melainkan merawatnya yang demam terlebih dahulu?

Kalila menutup mata seraya mengerang. Lagi-lagi ia merepotkan pria itu.

Kalila beranjak memasuki kamar mandi. Tidak bohong, ia sedikit terkejut dengan wajahnya saat ini. Sudah cocok berperan sebagai zombie. Untunglah skill make-up nya tidak terlalu buruk. Akan kacau jika teman-teman kantor melihat wajahnya yang seperti ini.

Setelah mandi dan memakai skincare, Kalila keluar dengan memakai handuk yang dililit. Perutnya berteriak kelaparan jadi ia memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum berganti baju. Entah apa yang tersisa di kulkasnya, seingat Kalila tidak ada. Tapi ia berharap setidaknya ada sisa sereal atau mungkin susu. Sayangnya masakan Ibu yang dibawanya waktu itu lupa ia masukkan ke dalam kulkas dan berakhir basi karena saat itu pikirannya terlalu kacau.

Kalila melangkah ke dapur, namun ketika berbelok, sebuah siluet seseorang mengejutkannya dan ia reflek memekik.

"Astaga! Reagan!?" Seru Kalila menyadari bahwa siluet tersebut adalah Reagan. Pria itu pun memiliki ekspresi tidak jauh berbeda akibat pekikan Kalila yang mengejutkannya.

"Goodness Kalila, you almost gave me heart attack," kekeh Reagan. "Good morning to you too. Here, saya beli sarapan," katanya menunjuk dua piring nasi kuning di atas pantry.

Tapi Kalila tidak menggubris ucapan Reagan. "Kamu ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Kalila merasa kebingungan. Tidak masuk akal, kenapa laki-laki ini bisa ada di dapurnya pada pukul tujuh pagi.

Reagan mengangkat alisnya. "What do you mean—wait, kamu ... nggak ingat semalam saya ke sini?"

Kini giliran Kalila yang mengangkat. Ia ingat semalam, tapi mengapa sekarang pria ini—Kalila mengamati kemeja yang dipakai Reagan. Kusut dan tidak beraturan. Lalu kesadaran menghantam dirinya, oh, Reagan.

"You stayed all night?" tanya Kalila dengan nada dingin. Reagan menjawab dengan anggukan.

Kalila kembali menyadari sesuatu dan melihat sekelilingnya.

"And you cleaned up my apartment?"

Reagan terlihat sedikit ragu menjawab karea perubahan ekspresi Kalila, tapi ia kembali menganggukkan kepala.

"Why?"

Kali ini Reagan tidak menjawab. Dan tiba-tiba emosi yang selama ini dipendam Kalila, amarah yang selalu ia kendalikan di depan semua orang tiba-tiba menerobos keluar.

"Kenapa kamu ngelakuin semua ini?" tanya Kalila kembali dengan nada sedikit lebih tinggi.

Reagan menghela napas. "Sebaiknya kamu sarapan dulu. Saya tahu kamu cuma makan dua bungkus yupi akhir-akhir ini. That's not even"

"—terus peduli kamu apa!?" potong Kalila, setengah berteriak.

Kalila tidak mengerti. Dirinya sama sekali tidak mengerti. Kenapa Reagan melakukan ini semua? Mengapa pria itu selalu berusaha menyelamatkannya? Mengapa pria itu peduli dengannya sampai sejauh ini? Mereka bahkan tidak pernah bertemu sebelum kejadian danau itu! They were total strangers! So why?!

"Kalila—"

"What's your hidden motive?"

"Hidden—what? No! I don't—"

"Is it pity then? Kamu kasihan sama saya?"

Reagan membuka mulut, namun tidak ada suara yang keluar.

"Benar, kan? I know what you're thinking. Melihat perempuan yang jadi sakit karena dikhianati di hari pernikahannya."

"Kali—" Reagan mencoba memotong namun suara Kalila malah semakin kencang. Tidak memberikan celah untuknya berbicara.

"Wanita menyedihkan yang kelihatannya selalu ingin bunuh diri! Berpikir 'oh sungguh malang nasibnya. Andaikan dia tidak setolol itu dalam memilih pria. Sungguh sia-sia gedung yang dia sewa. Sekarang ditaruh mana wajah orang tuanya? Dia pasti akan jadi perawan tua. Lihat, sekarang dia jadi gila. Siapa yang ingin gadis gila sepertinya?!'"

"Kalila, listen to me—"

"NO! YOU listen to me! I don't need your pity! Aku nggak butuh belas kasihan kalian semua! I already have enough pity for myself to last for a lifetime," seru Kalila. Setetes air mata lolos dan jatuh membasahi pipinya.

"So tell me! Tell me, Reagan, why should I take yours too?" tanya Kalila dengan nada parau.

"Kalila! Listen—" seru Reagan yang kini menahan tangan Kalila yang sempat bergerak ke segala arah. Memaksa wanita itu untuk tenang.

Kalila akhirnya diam dengan napas memburu. Kedua matanya yang memerah membalas iris cokelat terang di hadapannya.

"Listen, it's not true. Semua yang kamu pikirkan, itu nggak benar. Kenapa kamu mikir begitu? Kita semua di sini karena kita peduli sama kamu. Saya bahkan nggak tahu cerita kamu sebelumnya, and I swear to god I don't need to. Saya di sini semata-mata karena peduli sama kamu."

"You're here because you thought I'm suicidal," ujar Kalila dengan raut mengejek.

"Part of it, yes. Saya tidak bisa menyangkal itu. Saya khawatir, tapi itu karena saya peduli sama kamu. That's the point," ujar Reagan tenang seraga menatap kedua mata Kalila.

"Jadi saya mohon, jangan pernah berpikuran seperti itu lagi. Hm?"

"Kenapa?" tanya Kalila dengan suara serak. Masih terheran. Apakah hanya dia satu-satunya yang berpikir bahwa semua hal ini tidak masuk akal?

"Kamu hampir nggak kenal saya. Kita belum lama kenal. Kamu bahkan nggak kenal aku waktu pesta di Bogor dulu."

Reagan tersenyum. "Kenapa nggak?" tanya laki-laki itu seraya jempolnya mengusap pergelangan tangan Kalila.

"Nggak perlu waktu yang lama untuk seseorang peduli dengan orang lain—seenggaknya itu yang terjadi sama saya."

Kalila terdiam.

"Besides," lanjut Reagan menatap Kalila semakin dalam. "You have beautiful smile and I would do anything to see it again."

Mulut Kalila terbuka namun tidak ada kata-kata yang keluar. Ia terperangah, kehabisan kata-kata akibat kalimat terakhir Reagan.

"Sweet talker," dengus Kalila.

Reagan pun tertawa kecil. Perlahan ia melepaskan genggaman di tangan Kalila lalu mengusap air mata di pipi wanita itu.

"Don't cry," ucap Readan lembut, membuat Kalila memalingkan wajah dan mundur selangkah.

"So, breakfast? Or ...," Reagan melirik handuk yang dikenakan Kalila. "You want to change first?"

Mata Kalila melebar tersadar apa yang sedang dikenakannya saat ini di depan Reagan. Wajahnya kontan saja memerah.

"Saya—"

Ting tong!

Kalila seketika menoleh ke pintu.

"Ah, kayaknya itu pak Deni. Tadi sebelum kamu bangun, saya minta beliau untuk bawain saya baju ganti."

"Oh ..., alright. I-I'll change first," ucap Kalila kikuk lalu bergegas ke kamar.

"Kalila?"

"Ya?" seru Kalila dari dalam kamar.

"Uhm, can I shower here?"

"Sure."

————————————

A/N: yo what a fun chapter to write

The Lost StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang