ini terakhir ya ayangku. awas l smw kl teror gue butuh bonchap ( . ◜‿◝ )
[]
Haidar tak salah lihat! Dia sudah memastikan bahwa itu Marka. Kakak kandung yang berbeda rahim dengannya.
Tampilannya dengan seragam karyawan supermarket. Sama sepertinya dulu sewaktu bekerja. Gurat wajahnya menyiratkan lelah yang bertumpuk dan keterkejutan. Mungkin karena kedatangan tiba-tiba Haidar.
Kalau lo jadi gue, lo harus sikap kayak gimana?
Demikian yang dipikirkan Haidar. Mungkin kecewa masih melekat pada perasaannya terhadap Marka, tapi tetap saja Haidar merasa kasihan menatap keadaan Marka saat ini.
Teringat ketika masa SMA, saat mereka berempat berangkat bersama menggunakan sepeda. Disana Haidar berpikir bahwa mereka berdua masih punya kemungkinan.
“Dar lo gak apa-apa? Mau beli sesuatu nggak? Atau lo mau pulang duluan?”
Di labirin tempat bumbu dapur Narendra dan Haidar berada. Maka di labirin yang lumayan jauh dari kasir, Narendra bertanya.
“Gak masalah kok. Lanjut aja lo mau ambil apalagi? Gue ambil eskrim nanti, nungguin lo. Biar lo yang bayar.” Kalimat terakhir sedikit melenceng dari apa yang ditanyakan Narendra sebenarnya.
“Kak Marka keliatan nggak baik sekarang.” gumam Narendra yang lebih ditujukan pada Haidar.
Satu fakta lagi, Haidar sudah pernah menanyakan hal ini; tentang Marka kakaknya, pada Mamanya. Tapi sang Mama terlalu berbelit. Berakhir Haidar tidak mendapat jawaban apapun.
Oleh karena itu, Haidar sedikitnya masih berharap bahwa fakta yang 2 tahun lalu membuat Marka dan Haidar berjauhan adalah bohong.
“Udah nih. Ayo beli eskrim.” ajak Narendra dirasa cukup persediannya untuk perayaan.
Letaknya eskrim dan kasir tidak terhalang apapun dan berhadapan lurus. Jadi, baik dari si kasir maupun yang memilih eskrim, akan nampak langsung.
“Gue mau porotin lo. Mau yang eskrim paling mahal gue ambil.” Haidar berujar.
Sebenarnya intonasinya biasa saja, bahkan suaranya tidak terlalu besar. Tapi efek supermarket yang hanya mereka bertiga ada disini, jadi terdengar sampai ke Marka.
“Iye, ambil aja sesuka bapak pengacara.” terselip nada sedikit kesal.
“Nggak lah. Tenang aja, gue tuh sebagai teman maupun adik bagi lo, gue pengertian kok.”
“Iya-iya elah bacot banget congor lo. Cepet ambil, nanti cair ini semua eskrim orang.”
Tiba saat pembayaran di kasir. Haidar tadinya ingin langsung berbelok ke pintu supermarket. Tapi tentu saja dia juga tidak mau dianggap pecundang.
Sambil menghitung totalnya, Narendra dan Haidar bertatapan. Mereka satu pemikiran.
“Kak, kerja disini?” Narendra yang memulai bertanya.
Disini Narendra yang bertanya, tapi dalam hati Haidar dia mengumpat dan mengabsen seluruh penghuni kebun binatang yang dilontarkan pada Narendra.
Seharusnya tidak usah ada percakapan disini. Hanya membayar lalu selesai.
“Eh?? Iya, gitu deh.”
Sejujurnya Haidar tau, banyak dalam pikiran Marka yang bersarang. Sebabnya, saat menjawab pertanyaan Narendra, yang lebih tua bukannya bersitatap dengan Narendra. Yang notabenenya si pencetus pertanyaan, melainkan pada Haidar yang sedari tadi pasif.
“Gak.. kuliah?”
Haidar melotot saat menangkap pertanyaan selanjutnya dari Narendra. Lantas berbisik lalu dilanjutkan mencubit pada pinggang Narendra. “Woy goblok! Gak sopan lo!”
Marka terlalu segan dan takut sekedar mengangkat kepalanya untuk bertatapan dengan pelanggan. Itu tidak sopan.
Tapi mau bagaimana lagi? Marka sudah terlampau takut dan merasa bersalah pada lelaki manis di samping Narendra.
Bahkan, Marka sedikitnya merasa malu. Malu sekedar memberikan isyarat bahwa rasanya yang tumbuh saat 2 tahun lalu, masih ada sampai sekarang.
Lalu segan. Seseorang pasti pernah merasa segan dan minder karena pendidikan mereka yang ditanyakan oleh mereka yang berpendidikan tinggi.
Dan Marka sedikit tau dari obrolan kedua sahabat itu, bahwasanya Narendra dan Haidar baru dan sedang menempuh jalur perkuliahan.
Masa depan mereka terjamin, tidak seperti dirinya.
Karenanya, Marka tak menjawab pertanyaan terakhir yang terlontar dari Narendra.
Perasaan kecil dari dalam dirinya menginginkan sekedar Haidar menanyakan apapun dari dirinya. Entah itu hal sepele atau hanya berbasa-basi. Tak apa, apapun itu Marka akan membalasnya dengan senang hati.
Tapi sayangnya, Haidar sepertinya enggan untuk hanya menatapnya. Maka, kubur harapannya dalam-dalam.
“Makasih, gue duluan kak.” Narendra berpamitan juga mewakili Haidar.
Mengucapkan selama tinggal saja Haidar enggan. Apalagi sekedar menjalin hubungan persaudaraan; adik dan kakak, pasti Haidar tak sudi.
Lalu apa? Apa yang diharapkan Marka?
Haidar, maaf.
Maaf, Haidar.
[]
fin
04/03/22
KAMU SEDANG MEMBACA
glow up [markhyuck] ✓
Fiksi Penggemar-complete.- Kala itu, Haechan memilih mengungkapkan perasaannya pada Mark. lelaki yang 2 tahun diatasnya. Dengan bermodalkan nekat saja, Haidar yang waktu itu kelas 8 SMP, dan Marka yang kelas 10 SMA. "ya. kita lihat nanti." -haidar "gue lihatin ter...