5

1K 221 14
                                    

***

Gelombang pelanggan pertama akhirnya selesai. Jam makan siang berakhir dan Rose duduk di salah satu meja yang belum di bersihkan, bernafas di sana, melepas lelah. Jiyong menghampirinya, ia mengambil air dari dispenser kemudian duduk di depan Rose.

"Terima-"

"Tidak, ini punyaku, ambil sendiri airmu," potong Jiyong, menepuk tangan Rose yang akan mengambil segelas airnya.

Seunghyun menyusul setelah ia selesai memasukan daging ke dalam freezer. Daging-daging itu sudah di kemas lagi dalam plastik vaccum dan kali ini Seunghyun menuliskan semua nama daging-daging itu di atas plastiknya.

"Mana Lisa?" tanya Seunghyun. "Dia tidak kabur ke Seoul kan?" katanya, setelah ia mengambil duduk di meja lain, di sebelah Jiyong.

"Mengantar pesanan," jawab Jiyong, yang kemudian menunjuk ke luar jendela dengan dagunya. Ia tunjuk Lisa yang baru saja datang dari restoran di sebrang jalan. Gadis itu datang dengan sebuah es loli di mulutnya, menyedot es loli itu untuk mendapatkan energi.

"Kenapa dia tidak membawa sepedanya? Dia bisa naik sepeda kan?" tanya Seunghyun, memperhatikan gadis yang melambai heboh padanya, tubuhnya bergerak begitu ringan, bergoyang-goyang memamerkan tenaga masa mudanya. Dari dalam toko, Lisa kelihatan terlampau bersemangat.

"Pesanannya satu keranjang soda botol," Jiyong menjawab.

Lisa masih di luar, masih menikmati es lolinya tapi kali ini gadis itu membungkuk di depan tungku arang. Ia mengecek ubi bakar yang ada di sana, ingin tahu apa ubi-ubi itu bisa dimakan. Selesai menusuk-nusuk ubi di atas tungku arang itu dengan sepotong ranting yang tidak sengaja ia temukan di dekat sama, gadis itu melangkah masuk lewat pintu dapur, pintu di sebelah bak cuci piring, bersebrangan dengan kompor.

"Sudah empuk, bisa dimakan tidak?" lapor gadis itu dan Jiyong menyuruhnya membawa satu ubinya masuk. Pria itu ingin tahu sudah seberapa empuk ubi yang ia tinggalkan di tungku, tapi enggan untuk mengangkat bokongnya dari kursi. "Tapi panas, aku tidak bisa memegangnya, ah! Pakai tissue!" polos Lisa, yang akhirnya menghabiskan es lolinya.

"Ada sarung tangan di sebelah tungku, pakai itu, bodoh," komentar Seunghyun.

"Ah... Ada sarung tangan di sana? Aku tidak melihatnya," santai Lisa, yang justru melangkah keluar, mencari sarung tangan yang Seunghyun bicarakan.

Akhirnya gadis itu berhasil membawa satu ubi masuk ke dalam toko. Tanpa berfikir untuk mengambil piring atau mangkuk, gadis itu menjatuhkan ubinya di atas meja, di depan Jiyong. Pria yang diberi ubi kemudian mengangkat kepalanya, menatap Lisa dengan heran.

"Kenapa? Oppa hanya akan mengecek itu matang atau tidak kan?" tanya Lisa. "Cepat cek, kalau sudah matang aku akan menyimpannya untuk Jennie eonni," susulnya dengan wajah tenang tanpa masalah.

"Aku juga mau sepotong ubi," komentar Rose, namun Lisa menggeleng, mengatakan kalau mereka berempat sudah banyak makan ubi sebelum jam makan siang tadi. Mereka sudah makan ubi dan dua mangkuk ramyun tadi. Meski proses makannya sama sekali tidak nikmat. Mereka makan sembari bekerja, mengambil satu suapan besar kemudian bergerak mengerjakan tugas masing-masing.

Begitu yakin kalau ubi paling besar yang ia ambil sudah matang, Lisa menyimpan ubi itu dalam sebuah kotak makan. Mereka bisa menghangatkannya nanti, kalau Jennie sudah datang, yang penting sudah disisihkan. Untuk beberapa menit mereka bisa beristirahat sekarang, namun Seunghyun menghela nafasnya ketika ia melihat ke arah bak cuci piring yang berantakan.

Mangkuk-mangkuk, panci ramyun dan peralatan makan lainnya menumpuk jadi gunung di bak cuci piring. "Oppa, jangan mempromosikan ramyun lagi," kata Rose, kelelahan setelah memasak hampir lima puluh bungkus ramyun setengah hari ini.

"Rasanya aku ingin menutup toko dagingnya," Seunghyun ikut mengeluh. "Punggungku pegal sekali, membungkuk memotong daging. Untuk dipanggang, untuk disemur, untuk dijadikan sup, kenapa semuanya punya bentuk potongan yang berbeda?" protesnya.

"Aku juga lelah berlarian kemana-mana. Mengantar pesanan juga sulit. Aku hampir tersesat," Lisa tidak mau kalah.

"Mau tukar posisi denganku?" tanya Jiyong dan semuanya menolak. Memakai mesin kasir saja sulit, ditambah mesin untuk mengisi kartu transportasi, pembayaran dengan kartu, pembayaran dengan handphone, tiket bus, menerima telepon, ada terlalu banyak hal yang perlu Jiyong ingat di meja kasir. Belum lagi kalau barang yang pelanggan beli tidak punya barcode, Jiyong harus mencari harga barang itu di rak atau dibuku catatan di mejanya. "Kapan Jennie datang? Makan malam pasti lebih ramai. Kita perlu pelayan, tukang cuci piring, oh! Dan cumi-cumi panggang? Kita menjual cumi-cumi panggang untuk makan malam."

"Siapa yang memanggang?" tanya Seunghyun. "Jangan menambah beban lagi!"

"Tapi cumi-cuminya sudah di pesan, harus di jual," balas Jiyong.

"Oppa, tidak bisakah oppa saja yang membayar semua cumi-cuminya?" kata Lisa. "Oppa beli semuanya, lalu kita tutup tokonya dan tidur," sarannya dan Rose sangat menyukai saran itu. Tapi kalau Jiyong melakukannya, acaranya berakhir.

Untungnya Jiyong tidak mengabulkan saran Lisa tadi, jadi acaranya akan tetap berlanjut. Kini istirahat mereka selesai, sebab seorang pelanggan kembali masuk ke toko itu. Jiyong pergi ke tempatnya, di kasir, sedang Seunghyun menghampiri pelanggan paruh baya itu untuk membantunya. Menjadi keranjang hidup di belakang pelanggannya, sembari memanfaatkan momen itu untuk menghafalkan letak barang-barang di sana.

Lisa dan Rose harus membersihkan dapur, juga meja-meja pelanggan di sana. Rose mulai mencuci piring, sementara Lisa masih mengelap meja. Setelah itu mereka masih punya segudang pekerjaan— menyiapkan kimchi, daun bawang dan cabai lagi, kemudian membersihkan ikan teri dan menyiapkan cumi-cumi yang nanti di panggang. Pekerjaan di sana tidak ada habisnya.

"Lisa lihat," kata Jiyong, menunjukan struk belanja orang-orang yang tidak ia berikan pada pelanggannya. Struknya masih menempel pada mesin kasir, belum dicabut sejak pelanggan pertama mereka datang. Gulungan struk itu, sampai jatuh di lantai, terkulai seperti pita panjang, hampir dua meter.

"Wahhh... Kita sudah menjual sebanyak itu? Hebat! Aku merasa kaya raya," kata Lisa menanggapi Jiyong. "Tapi oppa, kalau di mall, belanjaanku gratis kalau aku tidak diberi struk."

"Sungguh?! Aku harus membagikan semua struk ini?! Bagaimana kalau ada yang protes?" bingung Jiyong, membuat Lisa ikut membeku, ikut bingung. Keduanya merasa kalau mereka ada dalam masalah sekarang. "Aku akan menelepon pemiliknya dulu," Jiyong akhirnya mengambil keputusan. Ini baru hari pertama mereka bekerja, tapi Jiyong sudah berkali-kali menelepon pemilik tokonya. Ia jadi sedikit sungkan karena menganggu pekerjaan orang lain.

Ditengah kesibukan masing-masing orang, pintu toko kembali terbuka. Tanpa melihat ke arah pintu itu, Jiyong menyapa— "selamat datang," katanya, sembari berjongkok mengecek stok rokok di bawah meja kasir.

"Apa-apaan ini? Kenapa besar sekali?!" suara Jennie kemudian mengudara, membuat semua yang mendengarnya—Jiyong dan teman-temannya mengeluh lega. "Aku mau pulang saja-"

"Jangan!" tanpa aba-aba, keempat pemilik sementara toko itu, berteriak bersamaan.

***

Unexpected MartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang