17

991 203 31
                                    

***

Kemana tempat tujuan mereka selanjutnya? Toko mainan. Jiyong mengemudikan truk mereka dengan tenang, sementara Lisa hanya sesekali terkekeh. Diam-diam menertawakan kata-katanya beberapa menit lalu juga reaksi kesal Jiyong.

Pria itu mengabaikannya, berpura-pura tidak tahu kalau gadis di sebelahnya tengah menertawakannya. Sampai akhirnya mereka tiba di toko kedua tanpa masalah dan Lisa melompat turun. "Oppa aku masuk duluan ya?" tanyanya sebelum menutup pintu truk itu.

"Ya," angguk Jiyong, yang masih harus mematikan mesin juga mengunci truk itu.

Di dalam toko mainan itu Lisa langsung disapa pemiliknya. Ia memberitahu alasannya datang dan pemilik toko itu langsung mengajaknya berkeliling, memberitahunya mainan-mainan baru juga mainan yang sedang laris manis di pasaran.

"Yang sekarang sedang populer, kartu pokemon," kata si pemilik toko mainan dan alat tulis itu.

"Di sini ada kartu pokemon? Di Seoul aku tidak bisa membeli kartu pokemon, teman-temanku mengumpulkan kartu pokemon," kata Lisa.

"Ya... Kami sudah menyisihkan beberapa," katanya, tentu saja membicarakan pelanggan setia mereka, tuan pemilik minimarket.

"Aku mau membeli semuanya, berapa banyak yang Paman punya? Aku bisa menjualnya di agensi kalau bisa membeli banyak," kata Lisa. "Di sini menjual kartu pokemon— akan ku tulis begitu di pintu ruang latihan," candanya sambil terkekeh.

Saat Lisa sedang melihat-lihat kartu pokemon, Jiyong datang dengan handphonenya. Pria itu sedang menelepon, bicara pada Seunghyun yang sedang mengeluh karena pegawai paruh waktu mereka datang terlambat. Pria itu hanya terkekeh mendengar Seunghyun mengomel, sedang Lisa tidak peduli padanya dan sibuk memilih beberapa slime untuk dijual. Gadis itu juga memilih beberapa buku mewarnai, buku gambar, alat tulis sampai cat air sesuai dalam daftar mereka.

"Ada sesuatu yang terjadi oppa?" tanya Lisa dengan dua lusin pulpen di tangannya. "Mana yang lebih lucu?" tanyanya menunjukkan dua kotak pulpen dengan gliter warna-warni di tiap pulpennya.

"Beli saja dua-duanya?" tawar Jiyong, yang juga tidak bisa memilih mana yang paling lucu. "Seunghyun hyung kesal, karena pegawai paruh waktu kita terlambat. Mino berinisiatif untuk pergi ke toko dengan bus. Mereka minta diantar sampai ke terminal dan sedang menunggu bus di terminal sekarang. Katanya agar lebih dramatis."

"Wah... Dramatis sekali sampai Seunghyun oppa kesal," kekeh Lisa, yang akhirnya menyerah dengan pulpen-pulpen itu dan mengambil keduanya seperti saran Jiyong. "Tapi oppa tidak memilih sesuatu? Aku sudah memilih slime, clay, kartu pokemon, alat tulis. Cepat pilih mainannya," suruh Lisa.

"Apa bedanya slime dan clay?"

"Slime seperti lendir kalau clay itu tanah liat, bisa dibentuk. Oppa tidak tahu?"

"Tidak."

"Kalau begitu oppa pergi membeli kopi saja? Aku lihat ada cafe di sebelah. Aku ingin ice matcha latte dengan huzelnut syrup dan whip cream."

"Ice Americano saja? Aku tidak bisa mengingatnya."

"Tidak mau, matcha latte, ma-t-cha la-t-te, ice matcha latte dingin dengan huzelnut syrup dan whip cream. Harus manis. Ingat kan? Matcha latte, ma-t-cha, ma-t-cha, matcha, oke?"

"Lisa-ya..."

"Hm?"

"Kiri atau kanan?"

"Apa?"

"Bagian wajahmu yang bisa aku pukul. Kau makin menyebalkan, sungguh. Kau tidak akan bisa berkencan kalau terus begitu."

"Oppa."

"Hm?"

"Kiri atau kanan?"

"Tidak kreatif. Aku akan membeli kopi, bye." Jiyong berbalik, lekas melangkah pergi meninggalkan Lisa yang sekarang menggerutu.

Lebih dari dua puluh menit Jiyong pergi ke cafe di sebelah. Tentu saja pria itu tidak hanya membeli kopi, ia juga duduk di sana, mentraktir juru kamera mereka, membelikan satu gelas kopi untuk setiap staff yang ada di sana, bermain dengan game di handphonenya. Persis seperti seorang supir yang sedang menunggu majikannya berbelanja. Memasuki menit ke tiga puluh, pria itu kembali ke toko di sebelah dan ia lihat sudah ada gunungan mainan yang Lisa pilih.

"Aku juga butuh raket bulutangkis, kemarin ada yang mencarinya tapi kami tidak punya," katanya, yang langsung berlari kecil menghampiri Jiyong. Bukan karena ia merindukan pria itu, tapi karena segelas matcha hijau yang Jiyong bawa. "Akhirnya, aku haus," serunya sebelum mulai menyedot minuman yang ia pesan tadi. "Tapi ini bukan huzelnut syrup, ini caramel," protesnya.

"Oh ya?" santai Jiyong. "Aku lupa kau ingin huzelnut atau caramel, warnanya mirip," alasannya.

"Tidak apa-apa, dua-duanya enak," balas gadis yang ia ajak bicara, sama santainya. "Aku sudah selesai, hanya kurang raket bulutangkis dan sedang dicarikan," katanya.

"Kau pintar sekali memilih mainan, apa kau sudah pernah mengurus anak? Keponakan? Kau seperti ibu yang sedang belanja untuk anaknya," komentar si penjual mainan dan Lisa— juga Jiyong— terbahak-bahak karenanya.

"Tidak," kata Jiyong. "Dia bukan berpengalaman mengurus anak, dia masih anak-anak karena itu dia bisa memilih semuanya. Dia hanya memilih apa yang mau dia mainkan," komentarnya yang justru membuat Lisa berdecak pelan.

"Aku bukan anak-anak," gerutunya namun tidak terlalu keras karena dirinya pun ragu tentang statusnya— anak-anak atau orang dewasa.

Toko kedua selesai dikunjungi. Kemudian, setelah mereka memasukan semua belanjaan itu ke dalam truk, Jiyong harus kembali mengemudi untuk pergi ke toko ketiga. Toko grosir ketiga adalah koperasi pasar swalayan. Bentuknya seperti gudang, dengan banyak troli besar terparkir di depannya. Rak-rak di dalam tokonya tinggi sampai ke langit-langit, berbagai produk dengan kemasan kardus di simpan di tiap raknya.

"Sepertinya kita butuh troli," kata Lisa. "Satu saja cukup kan? Kita hanya perlu membeli air, mie dan bla bla bla," katanya, setelah melihat troli besar di depannya. Pegangan troli itu setinggi badannya dengan bagian depan— yang digunakan untuk menaruh barang— berukuran seperempat ranjang single bed.

"Hm... Bawa satu saja," angguk Jiyong, sementara Lisa menarik troli di depannya kemudian mendorongnya. Jiyong melangkah di sebelah gadis itu, sibuk dengan handphonenya, membaca juga mengirim pesan.

"Oppa duduk di sana, aku akan mendorongnu," suruh Lisa, menunjuk-nunjuk bagian depan troli yang ia dorong. "Trolinya susah dikendalikan kalau kosong," susulnya, membuat Jiyong langsung duduk di atas troli itu, bersila dengan kedua kakinya, seolah ia berada di sebuah karpet terbang.

"Barang yang pertama perlu kita beli, air," kata Jiyong yang sekarang tengah mengecek daftar belanjaan mereka.

"Dimana airnya?" gumam Lisa, berhenti melangkah sembari menoleh ke kanan dan kiri mencari rak berisi air mineral. "Ah itu dia!" serunya, yang kemudian mendorong Jiyong beserta trolinya ke arah air mineral.

Sekarang Jiyong harus berdiri, karena karpet terbangnya harus dipakai untuk mengangkut air mineral. Sesuai daftar mereka membeli segalanya. Setelah mengambil mie sampai gula, mereka mendorong tiga troli belanjaan ke meja kasir.

"Rasanya seperti aku akan memberi makan orang-orang satu agensi... Banyak sekali!" seru Lisa, yang sudah kelelahan dan duduk di sudut troli, memangku satu kardus mie instan.

"Kerja bagus," komentar Jiyong sembari menepuk-nepuk kepala Lisa dengan ujung dompetnya. Dompet yang sekarang berisi uang pemilik toko, bukan uangnya.

"Heish... Jangan melakukan itu... Orang akan mengira oppa sedang menjualku, laris manis, laris manis," keluh Lisa, sembari memegangi poninya yang Jiyong ganggu dengan dompetnya. Mereka masih mengantri di kasir, ada dua orang pemilik toko lainnya yang sedang mengantri untuk menghitung belanjaan di depan mereka.

***

Unexpected MartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang