30. TAMPARAN

191 15 10
                                    

Selama di pesawat, Muthia tidak berhenti menangis. Ia sengaja mengenakan kacamata hitam supaya tidak ada seorangpun yang mengetahui bahwa dirinya tengah menangis. Dirinya tak mampu menahan airmatanya lagi sekarang.

Hati dia sangat sakit untuk menerima semua kenyataan ini. Sangat berat hati dia menerima keputusan yang dia buat sendiri. Tapi dia tak bisa membiarkan hatinya menahan segala rasa sakitnya ke depannya. Lebih baik dia menghentikan semua ini. Sebelum hatinya lebih sakit lagi.

Dia membuka dompetnya. Terlihat sebuah foto dia bersama dengan Gara. Dia terpukul. Dia masih merasa bahwa ini semua hanyalah mimpi belaka. Ia terus mencubit tangannya dengan tujuan memastikan apakah ini mimpi atau kenyataan.

"Sakit, Gar.. Aku sakit."

Tangis Muthia semakin menjadi. Dia memejamkan mata dan merasa tak kuat lagi untuk melakukan apapun sekarang. Pelengkap hidupnya kini sudah bukan lagi miliknya. Entah kemana lagi dia akan berkeluh kesah dan pulang ke rumah kedua, yaitu Gara.

"Permisi. Mba tidak kenapa-napa?" Sapa seorang pramugara.

"Iya, saya nggak papa, Mas."

"Maaf, Mba. Jangan menangis lagi, ya, Mba. Semua sudah ada yang mengatur segalanya. Ini saya beri tissue dan air mineral."

"Makasih, Mas."

Kemudian setelah itu dia mengambil sebuah buku kecil di tasnya. Dia menulis sebuah tulisan yang mencurahkan isi hatinya. Seusai menulis itu, dia tertidur sejenak sampai dia tiba di tujuan, yaitu Semarang.

"Mas Abdi, Mas Adi?"

Di sana sudah ada Abdi dan Adi yang sedang duduk di ruang tunggu. Keduanya mengenakan kaos berwarna hijau dan putih.

"Cerita sama kita. Ada apa kamu sama Gara."

"Nggak ada apa-apa. Emang ada apa?"

"Kamu nggak usah bohong. Mata kamu udah kayak gitu. Apa yang dia lakuin? Bilang ke Mas sekarang!"

Mulut belum berbicara menceritakan semua yang terjadi tetapi mata sudah meneteskan airmata lagi. Abdi dan Adi disana langsung menenangkan serta memeluk Muthia dengan erat. Adi mengelus kepalanya dengan halus seraya menciumnya beberapa kali.

"Aku putus, Mas."

"Udah. Nggak papa. Mungkin dia bukan yang terbaik untuk kamu. Jangan sedih lagi. Kamu pikir Mas nggak sedih liat kamu kayak gini? Sedih, dek. Kamu itu adik perempuan Mas satu-satunya. Anak bungsu lagi."

"Bener kata Abdi. Kami ini dari kecil selalu jaga kamu. Jangan kamu nangis hanya gara-gara dia. Kamu itu cantik. Pasti akan dapat yang lebih baik lagi dari Gara. Udah.. sini. Mas Adi peluk. Katanya kangen waktu itu?"

"Hiks.. Makasi, ya, Abangku. Adek enggak sedih lagi kalau ada abangku semuanya."

Seminggu telah berlalu, Muthia masih uring-uringan di dalam kamarnya. Padahal, seharusnya dia sedang berbahagia. Karena, kedua kakaknya dipindah tugaskan di daerah mereka tinggal sekarang.

Tok.. tok.. tok..

"Ya, masuk."

Terlihat dari arah pintu ada Abdi dan Adi yang membawa sebuah makanan dan minuman di masing-masing tangan kanan mereka. Mereka pun mendekat ke arah kasur di mana Muthia kini berada.

Muthia merapikan rambutnya dan mengusap wajahnya pelan yang masih penuh dengan airmata. Wajahnya kini terlihat seperti tidak ada semangat untuk hidup. Rambutnya tidak terurus. Kamarnya pun berantakan.

Kedua kakak lelakinya itu merasa prihatin melihat kondisi Muthia yang sekarang. Kuliah ditinggalkan, dan keseharian Muthia hanya berada di atas kasur kamarnya. Berbagai cara telah mereka lakukan, tapi hasilnya nihil.

ABDINEGARA KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang