12. - KERAS KEPALA

1K 40 2
                                    

"Muthia, kan? Adeknya Abdi?"

"Eh, iya. Kakak temennya Mas Abdi, kan?"

"Iya, saya Akmal," ucapnya sambil menjulurkan tangannya.

"Tadi Abdi bilang, suruh sempetin nemuin kamu disini. Katanya, kebetulan kamu di Bali. Ya udah, lepas dinas saya kesini. Oh, iya, ini saya bawakan pie susu."

"Walah, makasih lho, Kak. Pasti masih capek, ya? Lepas dinas langsung kesini. Kalo enggak kesini sebenarnya nggak papa, lho, Kak. Tapi, yaudah alhamdulillah deh kesini, hehe. Ini pie susu nya nggak kebanyakan, Kak?"

"Udah biasa capek kayak gini. Iya, itu buat kamu semua. Untuk teman-teman kamu disini juga bisa, kok."

"Makasih, ya, Kak. Masuk dulu?"

"Oh, enggak usah. Saya mau ngajak kamu makan malam. Kebetulan, saya belum makan. Mau?"

"Boleh. Sebentar, ya, Kak. Aku ambil tas sama HP dulu di kamar. Duduk dulu."

"Iya."

Muthia langsung naik ke lantai atas untuk mengambil tas dan handphone miliknya. Sampai di kamar, teman-teman Muthia ternyata berada di kamarnya. Sangat ramai. Sebenarnya ia ingin ikut mengobrol, tetapi karena Akmal mengajaknya untuk makan malam, jadi harus absen lebih dulu.

Pertanyaan pun keluar dari mulut teman-temannya itu, karena yang mereka tahu, di Bali Muthia tidak memiliki saudara. Dan dia pasti tidak akan mau diajak pergi oleh orang yang baru dia kenal.

Dia pun menjelaskannya. Dan langsung mendapat anggukan paham dari teman-temannya itu. Kemudian, Muthia langsung turun dan menemani Akmal untuk makan malam hari ini.

Selama di perjalanan, tidak ada obrolan di antara mereka. Hanya saling diam sambil menikmati alunan musik yang diputar. Ya beginilah, jika orang cuek dipertemukan dengan orang cuek juga.

Dengan penuh keberanian, Akmal membuka obrolan dengan Muthia.

"Disini sampai kapan?" Tanya Akmal sambil fokus menyetir.

"Kayaknya, sih, Sabtu."

"Ooh, gitu."

Hanya itu saja yang mereka obrolkan. Setelah itu, mereka kembali saling diam. Akmal fokus menyetir, sedangkan Muthia melihat jalanan Bali dan sesekali memainkan handphone miliknya.

Setelah beberapa menit perjalanan, mereka sampai di sebuah restoran. Akmal mengajak ke sini karena restoran ini yang cukup terkenal dan luas. Makanannya pun sangat enak, tempatnya juga nyaman.

"Kak, kita makan disini?" Tanya Muthia sambil melihat sekeliling sudut restoran.

"Iya, kenapa? Nggak papa, kan?"

"Ini makanannya mahal nggak, Kak? Hehe," ucap Muthia sambil cengengesan.

"Hahaha, enggak. Makanya rame banget, kan? Kamu nggak usah khawatir, saya bayarin."

"Nggak usah, Kak. Ih, aku bawa uang, kok."

"Udah, nggak papa. Yuk, masuk."

Mereka pun masuk dengan beriringan. Saat mereka masuk, mereka pun jadi sorot mata pengunjung disana, karena Akmal masih memakai seragam dinasnya. Langsung, dia memakai jaket miliknya berwarna navy.

"Maaf."

"Santai aja, Kak. Kalo sama Mas Abdi juga gitu, kok. Hihi."

"Btw, jaketnya bagus, Kak. Beli dimana?" Tanya Muthia.

"Lah? Hahaha. Ini saya dikasih Ibu saya yang dari Jambi. Tanya Ibu saya aja sana," jawab Akmal dengan nada humor.

"Ih, Kakak. Ya malu, lah. Oh ya, kita ngobrolnya santai aja."

ABDINEGARA KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang