10

338 244 267
                                    

Sejak pukul lima pagi, rasanya mata ayah sulit memejam kembali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak pukul lima pagi, rasanya mata ayah sulit memejam kembali. Tatapannya masih jatuh pada foto-foto keluarga yang terkoleksi dalam album yang sudah lama tertutup dalam vitrine kayu tua. Warnanya pun sudah menguning, menua bersama waktu yang terus berjalan tanpa bisa di tunda atau sekedar menghela nafas dengan tenang.

"Senyum Sekar manis sekali." Ujarnya sambil mengusap foto masa kecil Sekar yang tengah bermain pasir. Ia ingat saat itu Sekar masih belum jadi kakak.

"Ayah, Sekar mau nanya sama ayah. Kok teman-teman Sekar pada punya adik, tapi Sekar enggak?"

"Jadi?"

"Hm, Sekar mau punya adik, yah. Katanya, kalo mau punya adik kita harus tanya orang tua dan berdoa terus. Tapi udah sebulan Sekar berdoa kok gak di jawab-jawab ya?"

Bahkan untuk kehadiran Sekar awalnya bukanlah hal yang di damba, atas pernikahan yang tak pernah di rencanakan atau bahkan di bayangkan. Perjodohan, mereka juga terpaksa dalam hubungan pernikahan mereka. Hingga meminta cucu, lahirlah Sekar dengan paras manis dan lembutnya. Saat itu ayah tau, bahwa kebahagiaannya tercipta meski saat itu ia belum terlalu menginginkannya.

Lalu Ara, keinginan terbesar Sekar. Bahkan ayah ingat saat Ara lahir, Sekarlah yang menemani setiap saat. Bahkan setelah pulang sekolah dahulu, meski wajah anak pertamanya lelah ia justru meluangkan waktu untuk bermain dengan adiknya. Ayah ingat jelas bagaimana kebahagiaan Sekar dahulu yang membuat ayah berpikir.

"Dia akan jadi anak yang mandiri dan kuat di jalannya, dia pasti bisa melakukan dan memutuskan semua sendiri."

Kejadian semalam seakan menamparnya, mungkin selama ini ia kira wajah bahagia Sekar memang betul bahagia. Semuanya baik-baik saja, nyatanya selama ini dalangnya adalah dirinya sendiri.

"Ada apa ini pak Hendra, bukannya saya sudah meminta tambahan waktu untuk membayarnya? Kita sudah sepakat."

"Saya memutuskan untuk melunaskan semua hutang anda, tenang saja saya serius melunaskannya."

Tangan ayah mengepal sempurna, merasa bodoh dan tidak layak menjadi ayah. Air matanya turun perlahan hingga isak tangis menguasai ruang tengah. Tanpa sadar tentang kehadiran Sekar di ambang pintu kamarnya yang memperhatikan ayah di ruang tamu, ia sendiri bingung karena ayah biasanya tidak bangun sepagi ini.

[✓] Satu Dadu - SUDAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang