Part 22 Teror misterius

177 9 4
                                    

Entahlah siapa lagi yang ingin mengganggu kehidupan rumah tanggaku dengan Abi. Perasaan selama ini aku berusaha bersikap baik pada semua orang tapi kenapa masih ada juga yang membenciku dan ingin mencelakaiku. 

Selama di perjalanan pesawat tadi Abi memutuskan kalo sementara kami akan tinggal dirumah papa dan mama. Karena disana letaknya lebih dekat dengan kantor. Abi tak mau mengambil resiko. Ia tak ingin kejadian yang lalu terulang lagi. Lagipula ia harus konsentrasi dalam sidang kuliahnya, agar tahun ini bisa lulus dan wisuda. Ia akan tetap fokus ke usaha ayam bakar kami dan tetap akan mendesign sepatu dan tas.

Ia tak pernah melepaskan genggaman tangannya. Terlihat jelas bahwa raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran, meski ia mencoba menutupinya. Dia juga berusaha menghiburku dan mengatakan kalo itu mungkin ulah orang iseng, jadi aku tak boleh memikirnya terus-menerus.

Sesampainya di rumah mama dan si kembar menyambut kami dengan hangat. Kami baru tiba sore hari. Sedangkan papa masih ada urusan pekerjaan dengan Kak Doni diluar.

"Iya, sementara tinggal disini aja dulu nggak pa-pa kok, mama malah seneng," ujar mama ketika Abi mengutarakan niatnya pada mama.

"Ya sudah kalian istirahat dulu di kamar. Mama siapin makanan dulu ya nanti kita makan sama-sama," perintah mama.

Kami menurut dan langsung membawa koper dan barang bawaan yang lumayan kedalam kamar. 

Abi langsung merebahkan diri diatas kasur begitu ia memasuki kamar. "Capek banget."

Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Aku membuka lemari bermaksud mencari baju ganti, rasanya badan lengket dan aku ingin mandi.

"Mau kemana?" Abi berdiri lalu melingkarkan tangannya ke pinggangku dan menempelkan dagunya di pundakku.

"Mau mandi dulu Bi, lengket nih badanku. Bau asem," jawabku.

"Aku ikut," ucapnya seperti anak kecil sembari menciumi pipi dan leherku.

"Iih... jangan gitu geli," protesku. 

"Ya udah yuk," ajakku sambil mengedipkan mata menggodanya. 

"Beneran??" Abi mengerjap tak percaya.

Aku tertawa melihatnya yang kini berubah jadi anak kecil. Begini nih suami brondongku.

Abi tetap memelukku dari belakang dan berjalan pelan pelan mengikutiku ke kamar mandi. Dah kayak amplop ma prangko aja, nempel mulu.

"Nanti itu ya," dia membisikkan sesuatu membuat pipiku merah.

Aku hanya menganggukkan kepala menuruti keinginannya.

*****

Selesai mandi dan ganti baju, Abi merebahkan tubuhnya lagi diatas kasur. Ia memberiku kode agar aku mau berbaring disampingnya.

"Nggak usah terlalu dipikirin soal tulisan tadi. Anggap aja itu orang iseng atau mungkin bukan kita targetnya." Abi menaruh kepalaku di lengannya dan mengelus rambutku yang masih sedikit basah.

"Entahlah Bi, aku khawatir kalo memang ada yang mau jahatin kita lagi. Masa' iya sih Bima lagi pelakunya? Gimana dia tau kalo kita liburan ke Jogja? Terlebih dia tau kita nginepnya di hotel itu?"

"Apa jangan-jangan dia buntutin kita dan kitanya aja yang nggak sadar gitu bi?"

"Udah ah, jangan nuduh-nuduh orang sembarangan kayak gitu."

"Ya gimana aku nggak nuduh Bi, kan dia udah nyekap aku selama 3 hari. Hal itu membuatku kecewa dan trauma Bi." Aku mengeratkan pelukanku dan Abi pun membalasnya.

"Udah jangan dibahas lagi, kita ganti topik aja," Abi berusaha mengalihkan pembicaraan kami.

Aku hanya terdiam dan masih sibuk dengan pikiranku sendiri.

Bronies (Berondong Manies)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang