Part 23

268 8 2
                                    


Ada abang ojek yang mengantarkan sebuah goodiebag berisi makanan untukku ke kantor saat jam istirahat. Tapi entah kenapa baunya menyengat sekali. Mau muntah rasanya.

"Apa itu Sa?" tanya Santi menghampiriku.

Aku menggedikkan bahu. "Nggak tahu."

Santi menutup hidung saat aku membuka goodiebag itu. "Iuuhhh...baunya."

Aku juga menutup hidung. Baunya sangat menyengat begitu goodiebag itu kubuka. Didalamnya ada sebuah nasi bungkus dan juga sebuah pisau yang menancap di nasbung itu. Ada secarik kertas terselip disana. Aku segera mengambilnya.

"Buang aja Sa. Udah busuk itu gak bisa dimakan," perintah Santi.

Aku segera melempar goodiebag itu ke tempat sampah setelah mengambil kertas tadi.

"Gila...siapa sih yang ngirim makanan busuk kayak gitu," omel Santi yang mengibaskan tangan di depan hidungnya.

Aku hanya menghela napas panjang. Apalagi ini?! Teror itu terus berdatangan. Mungkinkah hanya orang iseng atau memang ada orang yang sengaja ingin membuat hidupku tak nyaman.

"Sa," Santi mendekat dan menepuk pundakku. Kejadian barusan membuatku cukup shock. 

"Kamu nggak papa kan?"

Aku menggelengkan kepala pelan dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Aku nggak papa kok San."

"Ke kantin yuk," ajaknya sambil mengapit lenganku. "Aku laper."

Aku hanya mengangguk dan menuruti perkataannya. Santi mengapitku berjalan menuju kantin di lantai bawah. Sebenarnya aku nggak nafsu makan tapi itung-itung nurutin bumil.

Sesampainya di kantin, Santi langsung menggiringku ke meja di pojok yang langsung berdampingan dengan halaman samping kantor. Lalu ia berjalan menuju lapak bu kantin dan memesan makanan. Saat Santi tengah memesan makanan, Bima datang menghampiriku dengan membawa sepiring nasi campur dan segelas es teh. 

"Boleh aku duduk disini," ujarnya yang masih berdiri dengan membawa gelas dan piringnya.

"Silahkan," aku mempersilahkannya duduk di depanku.

Bima meletakkan piring dan gelasnya di meja, lalu duduk di hadapanku.

"Sa," ucapnya. "Biarkan aku membantumu untuk mencari pelaku teror itu. Aku tahu itu sangat mengganggumu dan aku juga melihat kejadian tadi."

"Dia ingin membuat hidupmu tidak tenang," lanjutnya lagi.

"Sudah pasti begitu," tanggapku acuh tak acuh. Meski aku tahu bukan Bima pelakunya tapi menerima bantuannya agak sangsi juga. 

"Jadi biarkan aku membantumu semampumu. Juga untuk menebus kesalahanku padamu Sa," ucapnya dengan kepala menunduk.

Aku jadi tak tega melihatnya. Bagaimanapun dia adalah orang yang pernah menemani hari-hariku. Meskipun aku sempat membencinya karena telah menyekapku beberapa waktu lalu, tapi tak bisa dipungkiri kalo juga melihatnya murung dan serba salah padaku.

"Ehheemm," Santi datang dan berdehem. Ia melirikku sebentar.

"San," sapa Bima kikuk. Mungkin ia paham kalo Santi pun menjauh sejak peristiwa penculikan itu.

"Hem," Santi duduk disampingku. "Makan siang juga? Udah pesen?"

Bima menggelengkan kepalanya. "Belum."

"Ya udah pesen dulu gih sana," ujar Santi terkesan seperti mengusir Bima. 

Bima menurut saja. Ia beranjak dari tempat duduknya. 

Bronies (Berondong Manies)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang