Part 10

205 16 5
                                    

   Selesai meeting aku membagikan kartu undangan itu kepada teman satu timku juga teman kantor lain. Tak terkecuali Bima.

  "Apa ini?" tanyanya yang menerima kartu undangan resepsi pernikahanku.

  "Undangan resepsi," jawabku pendek.

  "Sa," dia meraih pergelangan tanganku ketika aku hendak pergi menuju meja kerjaku "Haruskah kamu melakukan ini? Akan sulit bagiku melupakanmu."

  Aku berbalik dan melepaskan genggaman tangannya perlahan. "Bim, tolong lupakan aku. Aku sudah menjadi milik orang sekarang."

 Bima perlahan melepaskan genggaman tangannya. "Semua salahku, seandainya saja waktu itu aku turuti permintaanmu dan kita menikah, mungkin semua ini tak akan terjadi."

  "Sudahlah Bim, semua sudah terjadi. Tak ada gunanya disesali," ucapku lirih. Ya percuma juga menyesali nasi yang sudah menjadi bubur. Tak akan bisa merubah keadaan.

   "Semua salahku. Aku yang bodoh. Aku terlalu berambisi mengejar karirku sampai membuatku kehilanganmu," Bima masih terus menyalahkan dirinya sendiri.

  Aku diam membisu. Menyesal sekarang pun tak ada gunanya, tak akan bisa merubah keadaan. Semua telah terjadi. Aku beranjak dari meja Bima. Terserah dia mau hadir di resepsi atau tidak, itu sudah bukan urusanku lagi.

   "Jadi resepsi nih," Santi membolak-balik undangan yang kuberikan. 

  "Iya San, semua sudah dipersiapkan keluarga," jawabku. "Datang ya."

  "Pasti dong," ucap Santi yang memasukkan undangan itu ke dalam tas kerjanya.

  "Bima kamu undang juga?" tanyanya kemudian.

  "Iya, emang kenapa?" 

  "Nggak pa-pa sih, tapi kasian juga dia kalah cepet dari Abi. Kelihatannya dia belum bisa menerima status barumu," celoteh Santi. Dia sahabatku jadi dia tahu semua tentang bagaimana hubunganku dengan Bima.

   "Dan mungkin memang dia bukan jodohmu Sa," lanjutnya lagi. "Ya jodoh itu rahasia Tuhan, yang pacaran bertahun-tahun pun belum sampai ke pelaminan, yang ada jagain jodoh orang."

 Santi tergelak. "Lagian umur juga udah cukup mau nunggu apalagi. Giliran diambil orang baru deh sadar terus galau."

  "Udah San jangan dibahas terus, kasihan Bima," ujarku seraya melirik ke arah Bima yang jaraknya tiga meja dari meja kerjaku dan Santi. Wajahnya terlihat sangat kusut.

  "Abi itu sebenarnya anak yang baik. Percaya deh. Ya cuma dia kan masih muda jadi ya gitu lah. Tapi meskipun keliatan kayak urakan dia itu orangnya punya prinsip dan yang pasti dia itu anaknya sopan," Santi bercerita.

  "Dia pernah ikut balap liar gitu ya. Sering menang taruhan gitu. Abi pernah cerita ke aku."

  "Iya, itu yang buat orang tuanya jengkel plus khawatir, Kanaya yang crita. Tapi dia nggak pernah minta uang ke orang tuanya. Paling-paling buat bayar kuliah aja," jawab Santi.

   "Pas cerita dia bilang ada bisnis online sama temennya gitu. Ehh... bisnis sepatu. Dia bilang kapan-kapan mau ajak aku ke tempat produksi sama galerinya."

Bronies (Berondong Manies)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang