☁️☁️
Keempat orang dewasa sedang duduk di bangku taman rumah sakit. Hanya kesunyian yang ada di antara mereka. Tak ada yang mau memulai ataupun mendahului, merenung kesalahan dan takdir yang mereka hadapi. Bahkan kata kata 'penyesalan' sudah melekat dalam jiwa mereka. Berulang kali memaki diri sendiri, berulang kali juga memberikan kata kata bodoh untuk diri mereka. Mereka sudah tahu, bahkan sudah berpengalaman kalau kata penyesalan selalu berada di akhir, tetapi mengapa mereka kembali melakukan sesuatu yang membuat mereka menyesal di akhir?. Mereka sungguh malu dengan diri mereka yang di bilang dewasa. Tingkah mereka tidak dapat di benarkan, walaupun itu berniat membuat suatu kebaikan, yang pada akhirnya menghancurkan mereka serta anak anaknya.
Ayah mendongak, ia yang paling merasa bersalah dan ia yang paling merasakan rasa penyesalan dan sakitnya. Ia menautkan jari jemarinya, memikirkan sesuatu yang mungkin membuatnya menyelesaikan masalah ini, "apakah ada saran dari kalian?"
Nanda melirik suaminya, ia masih kecewa dan marah tapi bagaimanapun ia juga salah dan ia masih punya kewajiban mengikuti apa yang suaminya putuskan. Ia menghela nafas, bersandar pada bangku taman dan menatap langit malam.
"Terserahmu saja." terdengar kata katanya yang pasrah dengan keadaan, ia tak mampu lagi tuk memberontak.
Kirana memindahkan posisi di samping sahabatnya, ia terus menenangkan sahabatnya dengan mengelus bahu memberi kekuatan, "jangan menyerah, nanda. Pasti ada jalan."
Bunda melirik sahabatnya, ia terkekeh, "ada jalan?, Tetapi kita sudah berjalan sangat jauh. Di depan kita ada jurang dalam dan gelap yang jika kita melangkah, akan membuat kita semakin hancur dan jatuh ke jurang itu...."
"....tak ada jalan lain selain berputar balik, dan mencari jembatan untuk menyebrangi jurang itu." ucapan terakhir Nanda sebelum ia benar benar diam.
Papa memijat pelipisnya, ia masih merasakan sedikit ngeri dengan pukulan dari Ayah, "apakah kita harus membawa Alfa kembali?"
"Tapi bukankah itu sama saja seperti menelan ludah yang telah jatuh."
Mama bangkit dan menghadap ke kakaknya, ia menatap tajam netra yang mulai sayu itu, "jadi kau lebih mementingkan ludahmu daripada kehidupan anakmu dan anakku?" ujarnya dingin menusuk,
Ayah terdiam, pertama kali ia di tentang oleh adiknya. Tapi ia memang keterlaluan, lebih memikirkan ucapannya daripada anaknya dan keponakannya sendiri. Ayah menunduk, "bawa Alfa." ujarnya pergi menunduk meninggalkan mereka bertiga dengan rasa malu dan marah dengan diri sendiri,
"Dimana kepala yang selalu menghadap lurus lawan bicaranya tuan Pramana?. Dan di mana dirimu yang bijak selalu membuat orang termotivasi dan menjadi teladan?, Mengapa semua itu hilang?" tanya adiknya,
Ayah berhenti berjalan, ia tak berbalik tetapi membalas, "maaf, diriku gagal untuk mempertahankan apa yang orang lain pandang terhadap ku." ia melanjutkan langkahnya.
Mama terdiam, "mana ponselmu?" ia mengadah ponsel milik suaminya. Papa memberikannya.
Dengan cepat ia menghubungi putranya, "alfa?"
"Mama?"
Matanya kembali memanas, suara parau putranya memberikan goresan di hati kecilnya. Ia gagal membahagiakan putranya, tidak tidak....bahkan ia gagal membuat putranya terhindar dari rasa sakit. Ia yang mendorong putranya sendiri ke jurang gelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFASYAKA dan ASA [on going]
Teen Fiction"Alfareel satyana, Karasyaka prama. Hmm.. cocok ah buat di cetak di buku nikah." "Buku Yasin kali!" Berselisih paham?, Adu mulut?, Banyak drama?, Ouhh tentu semua itu ada di dalam persahabatan mereka berdua, Alfareel dan Karasyaka. Namun di suatu...