15. Titik cerah

8 1 0
                                    

☁️☁️









Kedua pasutri itu duduk dengan perasaan cemas menunggu dokter membaca diagnosis dari laporan kesehatan putri mereka. Tangan mereka saling bertautan, menguatkan satu sama lain.

"Jadi begini, dengan berat hati saya menyampaikan kabar buruk."

Bunda memejamkan matanya yang hendak menangis, "sampaikan saja, insya Allah kami akan menerimanya." ujar Ayah, bagaimanapun ia harus mau mengetahui kabar tentang putrinya, meskipun itu kabar buruk.

Dokter mengangguk, "saya sudah pernah bilang bukan?, Bahwa kesempatan hidup putri kalian sekitar 34%, kira kira 10 tahun. Dan itu saya katakan 10 tahun yang lalu."

"Bukan kami sebagai pihak rumah sakit menghilangkan harapan kalian, tetapi memang kemoterapi sudah tidak bisa lagi menyembuhkan putri kalian. Bahkan memberikan dampak buruk lainnya..."

Ayah mengerutkan keningnya, "dampak buruk?"

Dokter mengangguk, "....putri kalian di diagnosa terkena gangguan ginjal."

Bunda mengeraskan rahangnya, matanya semakin terpejam menahan tangis. Ayah terdiam, ia dibuat tak percaya dengan pernyataan dokter dengan kondisi putrinya. Memang ia akan menerima kabar buruk itu, tetapi bukan berarti kabar itu bertubi tubi di berikan. Putrinya kini mengalami gangguan ginjal?, Cobaan apa lagi yang hendak tuhan berikan untuk dirinya?

"Jadi apakah ada cara untuk menyelamatkan nyawa putri saya?" entah mengapa tiba tiba kata itu terucap, seolah ia berjalan tak tahu arah.

"Tidak ada. Jika adapun resikonya sangat tinggi."

"Apa itu?"

"Operasi."

"Maka lakukanlah."

Dokter menghela nafas, "resikonya sangat besar, pak Prama."

"Memang apa resikonya?"

"Kematian."

Kedua pasutri itu terdiam, mereka terkejut untuk kesekian kalinya. Ayah menggeleng, ia tidak ingin ada apa apa dengan putrinya lagi.

"Seperti kalian perlu berbicara serius, kalau begitu saya pergi terlebih dahulu." Dokter permisi dan meninggalkan ruangannya untuk memeriksa pasien lain.

Ayah menatap dalam manik istrinya, ia terus menggeleng seolah tahu betul apa yang apa istrinya pikirkan, "jangan Nanda, terakhir kali kita mengambil keputusan besar bukannya malah terjadi hal yang fatal?"

"Tetapi apa kau tidak merasa iba dengan putri kita yang rambutnya hampir tidak ada?, Dengan tubuhnya yang semakin kurus seperti kulit dan tulang?, Dan dengan semua kemo, alat, serta obat yang wajib ada putri kita lakukan?"

Ayah tetap menggeleng, ia masih takut mengambil keputusan, "tapi bagaimana jika operasi itu gagal?"

"Ya jangan berfikiran seperti itu!, Kau tak lihat diriku yang ikut merasakan sakit saat putriku seperti itu?"

"Aku juga sakit Nanda, tetapi ini bukan keputusan yang terbaik."

"Lalu kau akan membiarkan putri kita terus bergantung dengan alat alat medis dan obat?, Mau sampai kapan?, Bukankah itu sama saja dengan kita yang menyiksa putri kita terlalu dalam lagi?"

ALFASYAKA dan ASA [on going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang