BAB 1A : PENGENALAN

922 262 160
                                    

"Nez, buruan! Yang lain udah pada ngumpul di ruang OSIS tuh!" ajak Putri.

"Sekarang banget? Baru juga sampe kantin Put."

Untuk pertama kalinya aku ingin bermalas-malasan masalah OSIS. Biasanya aku yang paling bersemangat mengajak Putri untuk on time. Awal mulai duduk di kelas 12, pikiran semakin kacau gara-gara belajar masalah ujian kelulusan. Ditambah, harus mengejar materi untuk perguruan tinggi. Organisasi bagiku untuk sekarang tidaklah begitu penting. Berbeda dengan diriku yang berapi-api di tahun sebelumnnya.

"Panggilan kepada Tarisha Innez Pratiwi harap segera berhadir di ruang OSIS sekarang. Sekali lagi, panggilan kepada..."

"Kok nama gue nggak dipanggil sii.. napa cuma lu doang?" tanya Putri.

"Maklum, kan..."

"Ehh... Ehh... mentang-mentang wakil yaa. Sombong amat." jawab Putri judes.

"Yaudah, hayuk."

"Untuk kesekian kalinya makan di istirahat pertama ditunda lagi." menghela napas.

Itulah nama panjangku, Tarisha Innez Pratiwi. Orang-orang biasanya memanggilku dengan sebutan Innez. Entah mengapa orang memanggilku dengan nama di bagian tengah. Biasanya orang akan memanggil nama seseorang dari bagian depan. Tapi aku merasa nyaman ketika orang memanggilku begitu, karena Ibu lah yang menamai Innez. Sisanya ayah yang menambahkan semuanya.

"Nah lohh... si kutu buku baru nongol nih." ejek Ujang.

Siapa sangka, Ujang adalah ketua OSIS kita semua. Walau suka bercanda, tapi sifat kepemimpinannya patut di acungi jempol. Karena sifatnya yang humoris itu lah, Ujang terpilih menjadi ketua OSIS dengan voting terbanyak.

"Jadi, lagi nungguin aku baru mulai rapatnya? Kebiasaan ahh." celetuk Innez.

"Ya kan elu yang bawa materinya. Biasa... lu kan pinter Nez, jadi cuma lu doang yang gue percaya." puji Ujang.

Entahlah, pujian mematikan dari Ujang selalu membuatku malas berdebat untuk membalasnya dan lebih memilih untuk diam. Dengan rasa kelaparan yang ada, aku memulai rapat OSIS hari ini.

Setelah selesai rapat bertepatan dengan selesainya pula jam istirahat pertama, aku dan Putri di satu kelas yang sama memulai kembali pelajaran baru. Lalu istirahat kedua, aku dan Putri pergi ke kantin membeli mie ayam dengan porsi jumbo.

Di tengah-tengah makan dengan karamaian di kantin, ada seorang cowok berpakaian seragam rapih datang dengan membawa selembar kertas yang dilipat dua.

"Anu... Nez, nih ambil. Nggak usah dibuka sekarang ya. Kalo bisa di rumah aja. Bye."

Cowok itu langsung pergi dengan wajah yang agak menunduk.

"Pasti surat cinta lagi tuhh... emang yaa... kalo udah good looking, wakil OSIS, juara umum mulu lagi kerjaanya, kek kesetanan tuh anak-anak kalo ketemu lu Nez." celetuk Putri.

"Nihh... simpen aja Put. Lagi capek banget rasanya hari ini." keluhku.

"Emang si Dimas nggak cemburu apa kalo banyak cowok yang suka ama lu?"

"Ya enggak lah... Dimas mah bukan tipikal cowok yang begituan."


Dimas, dia adalah pacarku. Kami di satu sekolah dan di satu angkatan yang sama. Dalam sekali seumur hidup, baru kali ini aku pernah menjalin hubungan percintaan. Awalnya, aku tidak pernah tertarik dengan yang namanya kata "pacaran". Sampai di mana kami bertemu dalam satu studion saat aku dan Putri menonton perlombaan karate. Tentunya, Putri sangat suka melirik para cowok-cowok saat berolahraga. Dimas sebagai peserta telah selesai tampil menuju backstage yang beriringan denganku. Dari kejadian itulah, kami mulai saling sapa di sekolah hingga memutuskan untuk berpacaran. Hanya Dimas yang bisa membuatku nyaman dan menerima keadaanku sebagai pembenci keramaian. Walau terkadang dibatasi oleh jarak karena Dimas selalu ikut perlombaan karate hingga ke luar kota.

Tak lama, beberapa waktu dihabiskan dengan duduk di kelas yang senyap terdengar bunyi bel sekolah di akhir jam pelajaran. Rasa penat baik di otak maupun di pantat hilang sudah untuk hari ini. Aku berjalan dari koridor melewati beberapa kelas dengan rasa kebebasan dari aura penjara.

Terlihat lapangan basket di depan koridor sebelum gerbang luar, banyak anak-anak futsal sedang main di sana dengan pakaian seragam dikeluarkan, tidak rapih. Ada beberapa orang di sana tertarik untuk menonton, termasuk Putri. Tapi aku memilih untuk pulang karena Bapak sudah menungguku dengan kursi terasnya sendirian. Lagian, aku tidak suka keramaian.
***

*vote dan like kalian menjadi support bagiku temen2... thnks yang udh baca sampai akhir... see u ☺

KEPENTOK JODOH [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang