BAB 7A : HEALING

201 102 332
                                    

HAPPY READING ALL~

Awas lu pake acara sedih-sedihan...
ga janji ye 🤐

"Lo ngomong apa barusan?!"

"R.a.r.a h.a.m.i.l." jawab Aksa pelan namun penuh penekanan.

"Gue laporin lo!"

Aku berjalan cepat menuju meja yang mana telpon rumah bertengger.
Entahlah. Setelah mendengarnya, hatiku tak karuan. Ada apa denganku sebenarnya?

"Eh, mau lo lapor ke mana hah?!" tanya Aksa bingung.

"Ke Oma!" sahutku.

"Apa-apaan lo! Ngapain jadi bawa-bawa Oma segala?!"

"Kenapa? Takut? Kalo gue nggak laporin ke Oma, lo pasti nggak mau tanggung jawab kan atas kehamilan Rara?" sambungku.

"Tapi bukan gue yang ngelakuin itu!" tegas Aksa.

"Halah... siapa lagi kalo bukan lo pacarnya."

Aku terus berjalan dan mengambil telpon rumah untuk segera menghubungi Oma. Tiba-tiba Aksa menyerobot mendahuluiku dan mengambil paksa telpon digenggamanku hingga kabel telpon terputus.

"Jangan bikin gue naik darah! Gue nggak mau nambah kacau pikiran gue sekarang." ucap Aksa dingin.

"Yang seharusnya ngomong gitu tuh gue! Bilang aja lo nggak mau tanggung jawab." geramku sambil menujuk wajah Aksa.

Mata Aksa yang sayu berubah melotot padaku. Alisnya menukik tajam seakan-akan siap menerkam. Satu tanganku yang menunjuk padanya seketika ditangkap dengan genggaman erat. Sangking eratnya, darah di pergelangan tanganku seakan tidak mengalir.

"UDAH GUE BILANG BUKAN GUE, BUKAN GUE! BAHKAN DI OTAK GUE NGGAK PERNAH KEPIKIRAN NYENTUH RARA, APALAGI NGEHAMILIN DIA!"

Aksa berjalan cepat memasuki kamar dan menutup pintu dengan keras.

Tanganku yang semula digenggamnya erat, dihempas hingga meninggalkan bekas kemerahan. Jiplakan jari-jemarinya yang besar membentuk genggaman bulat sempurna di pergelanganku. Sakit, namun sulit dijelaskan.

Aku mematung beberapa saat. Teringat 2 hari lalu di otakku saat membuat kue ultah untuk Rara, pacar Aksa. Wajah Aksa begitu bahagia dan semangat membuatnya. Berharap dengan ekspetasi lebih saat memberikan kepada Rara, tapi kenyataannya? Bahkan kue itu sekarang tidak tersentuh sedikitpun oleh pemiliknya.

Hampir 2 hari setelah kejadian itu, Aksa hanya mengurung diri di kamar. Makanpun tidak. Beberapa kali aku mengetuk pintu untuk mengajaknya makan selalu tidak ada jawaban. Hening. Paginya, di hari ke-3 masih tidak ada kemunculan tanda-tanda kehidupan dari Aksa.

"Aksa... Bangun. Udah berapa hari lo ngurung diri. Nggak inget makan lo?" seruku sambil mengetuk pintu.

Hening. Masih saja hening. Tidak ada suara apapun di dalam kamar. Apa jangan-jangan ni orang mati???
Mati kelaperan?
Atau bunuh diri gara-gara putus cinta???

"AKSA, BANGUN! AKSA!" teriakku sambil menggedor-gedor pintu kamar.

Bukannya tidak melihat situasi, tapi sudah 3 hari dia mengurung diri. Kalau Aksa mati mungkin aja kan?

Tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"APAAN SI LO BERISIK AMAT!" marah Aksa.

"Syukur ni orang masih hidup." gumamku.

Matanya sayu, kurus, rambutnya acak adul, bawah matanya hitam dan sedikit kemerahan. Baru kali ini aku melihat Aksa begini. Aku paham. Tanpa perlu dijelaskanpun Aksa sangat depresi sekarang. Tapi kalo sampai ngurung diri 3 hari namanya bunuh diri!!!

"Gue tau, gue nggak seharusnya ikut campur urusan hidup lo. Tapi gue juga manusia. Emang lo nggak mikirin perut lo apa?!" ucapku.

"Kenapa? Apa urusan lo kalo gue nggak makan?" sahut Aksa parau.

"Lo nggak sadar apa? Lo udah nggak keluar kamar selama 3 hari."

"Terus? Emang kenapa? Mau satu bulan kek mau sampai gue mati kek itu bukan urusan lo..." geram Aksa.

"YA JADI URUSAN GUE LAH!" potongku.

Terdiam sejenak.

"Kenapa?" tanya Aksa datar.

"Yaa... itu karena... lo temen gue."

Nggak tau lagi harus ngomong apa sekarang. Ucapanku tidak bisa dikontrol. Intinya di otakku sekarang adalah bagaimana caranya agar Aksa keluar dari kamar.

"Sejak kapan?" tanya Aksa heran.

"Itu... sejak kita bikin kue ultah 3 hari lalu."

Aksa hanya terdiam setelah mendengar ucapanku. Tidak ada reaksi. Wajah datarnya membuatku benar-benar malu.
Ampun... ni mulut kesambet apa...

"Karena sekarang gue nganggep lo temen, lo bisa cerita sama gue. Nggak perlu sok kuat nyimpen sendiri rasa sakit lo. Kapanpun gue bakal dengerin cerita lo. Itu kan gunanya teman?" ucapku tersenyum simpul.

Dan lagi-lagi Aksa hanya terdiam. Namun, matanya yang semula datar kini berkaca-kaca.

Tiba-tiba Aksa mendekat, lalu menjatuhkan kepalanya ke bahu kananku. Seketika badanku tegap karena terkejut.

"Saat gue bawa kue ultah Rara ke kosannya, tiba-tiba Rara sama cowok keluar bersamaan dari dalam kamar. Gue liat banyak k*ndom berhamburan dilantai. Dan diantara benda-benda itu, ada 1 test pack di sana. Cowok itu langsung bilang sama gue kalo Rara hamil anak dia. Dan Rara cuma diam dan ninggalin gue gitu aja." jelas Aksa.

BODOH! Aku benar-benar bodoh... Bagaimana bisa aku menuduhnya menghamili Rara tanpa mendengarkan dulu penjelasannya. Aku sangat malu berdiri disampingnnya sekarang. Matanya yang sembab sambil menjelaskan semua membuatku perih mendengarnya.

Ingin rasanya tanganku yang terjuntai ini memeluknya. Aksa yang merasakan pelukanku terkejut dan mematung.

"Jangan salah paham. Gue meluk lo karena rasa empati dan rasa manusiawi." ucapku pelan.

Aku tidak mengerti dengan hatiku, tapi rasanya ikut hancur mendengarnya. Air mataku tak bisa kubendung. Apalagi mengingat wajah gembira Aksa saat membuat kue ultah untuk Rara. Betapa hancurnya hati Aksa. Dan kenapa harus di hari ulang tahun pacarnya? Yang mana itu menjadi hari paling bahagia dan hari paling buruk bagi Aksa.

Dari arah luar, Dimas berdiri melihat kami dari kaca jendela.

***

Gimana bab kali ini?
semoga ngena ya feels-nya dengan apa yg dirasakan Aksa :')

Btw, thnks bagi kalian udh meninggalkan jejak di bab ini
&
Thnks juga udh baca ampe habis ya...

See u di hari Sabtu 👋

KEPENTOK JODOH [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang