Jack's POV
"Sepertinya kebiasaanmu sudah menghilang ya?"
Belum dua hari aku merubah kebiasaan tiap pagiku di kantor dan pertanyaan semacam ini telah diputar lima kali oleh orang yang berbeda-beda. Pura-pura tidak mengetahui apa maksudnya, aku hanya bertanya balik sambil menyesap kopi panasku perlahan.
"Kebiasaan mana yang kau maksud? Aku punya banyak kebiasaan."
Matanya beralih kepadaku dengan cepat seakan kertas-kertas di depannya hanyalah selingan belaka. Diantara Prasmujaya. Sudah beberapa tahun aku seruangan dengan pria ini, tapi baru kedua kalinya dia bertanya hal pribadi seperti ini. Yang pertama adalah, "Bukan harusnya kau memiliki aksen bule?".
Salah satu tangannya diangkat sedikit untuk menunjuk gelas kopiku yang bertuliskan, 'Me, Boss. You, Wife. If that's all right with you, My Sweet.' "Kau tidak bersantai sebentar di lantai sepuluh lagi?"
Hanya ada satu ruangan di lantai sepuluh gedung ini, yaitu ruangan direktur. Sudah jelas kebiasaan yang dia maksud adalah kebiasaanku untuk bersantai di ruangan Daniel selesai rapat pagi. Aku tahu aku tidak bisa mengelak lagi untuk menjawabnya, "Tidak, Dian."
"Karena ada pasangannya di sana?"
Pasangan? Kenapa pria ini tidak mengucapkan 'istri' seperti orang umumnya? Walau sedikit merasa aneh dengan pilihan kata Dian, aku tetap menjawabnya. "Ya... Rasanya tidak nyaman seruangan dengan mereka."
"Dan menyakitkan." Sambung Dian cepat.
Sebagian kopi yang sedang kunikmati hampir tersembur keluar lagi dari mulutku. Bagaimana pria ini bisa mengetahui perasaanku saat melihat pasangan berbahagia itu?
Detak jantungku terdengar lebih cepat saat menunggu kata-kata pria berusia tiga puluh tahun ini selanjutnya. Jika dia menyebutkan nama itu... Jika ada yang tahu tentang kenyataan hubunganku dengan dua orang itu...
Mulut Dian bergerak seperti ikan koi sedang diberi makan, tapi tidak terdengar suara apapun. Kusadari aku terlalu terfokus dengan pikiranku sendiri. "Kamu bilang apa tadi?" Aku memintanya untuk mengulang.
Sedikit terlihat kesal karena kata-katanya di awal terbuang sia-sia Dian mengulangi kalimatnya. Dan setelah itu, entah aku harus bersyukur atau sedih.
"Masih banyak 'lelaki' di luar sana, Jack." Dian mengucapkan kalimat luar biasa itu dengan nada monoton yang dia gunakan saat presentasi.
"For God's Sake, Dian. I am interested in boobs and butts, not penises!!" Suaraku terdengar begitu depresi dan putus asa. Karena sungguh, aku tidak pernah mempersiapkan diri untuk melakukan pembicaraan ini dengan Dian, orang yang belasan bulan duduk di sebelahku. Walau kami jarang berbicara satu sama lain, tapi seharusnya dia bisa merasakan apa aku sering memberinya tatapan menggoda atau tidak.
Kedua mata itu masih menatapku biasa dari balik kacamatanya dan kepalanya hanya mengangguk-angguk tidak jelas. Dia tidak mendengarkan kata-kataku. Aku masih seorang penggila lelaki menurutnya.
Lelah menjelaskan, aku memilih keluar dari ruangan dan kembali saat Dian bisa berpikir jernih. Ternyata gosip tentang 'hubungan terlarang'ku dengan Daniel lebih parah dari yang kuduga. Coba kalau dulu aku langsung membasmi bibit-bibit gosip bukan malah memberinya pupuk.
Apalagi dengan adanya fakta aku masih menggunakan barang pemberiannya, seperti mug kopi ini. Dengan tulisan aneh yang Daniel pasti pilih untuk candaan, gosip menyedihkan ini tidak akan musnah begitu. 'Me, Boss and You, Wife'? Menjijikkan.
Setelah kopiku akhirnya habis, cepat-cepat kucuci mug pemberian Daniel ini. Akan kubawa pulang hari ini juga dan kujadikan pajangan di rumah. Biarlah aku mengeluarkan sedikit uang untuk membeli yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...