Jack's POV
Karen menangis. Dan akulah yang menjadi penyebabnya.
Sial.
Rasa bersalah merebak ke seluruh bagian tubuhku dalam seketika. Melihat wanita yang selalu menggeram kesal padaku sedang meneteskan air mata tanpa henti.
Buru-buru aku menyeka wajah Karen dengan ujung pakaianku. "Maaf, Karen. Aku tidak bermaksud... seperti ini."
Air mata Karen terus menetes jatuh, menambah kedalaman lautan rasa bersalahku. Juga luka perih yang menggores setiap sudut hatiku.
Kedua tanganku menangkup wajah Karen. Menjadi basah karena bulir-bulir air bening dari kedua bola mata hitam itu. Sesak di dada menghampiriku. Padahal, bukan inilah tujuanku memaksanya menemuiku. "Aku... maaf, Karen."
Saat itulah tangan Karen menutup mulutku, membekapku lebih tepatnya.
"Aku akan menjawab pertanyaanmu." Suara Karen terdengar lirih dan terisak.
"Tidak, Karen. Kau tidak perlu melakukannya. Aku..."
"Aku ingin melakukannya. Dengarkan aku baik-baik." Kalimat Karen memotong kalimatku. Ada ketegaran yang bersembunyi di balik suara isakannya. Membuatku mau tidak mau harus menurutinya.
"Baiklah. Tapi, setidaknya biarkan aku menyeka wajahmu dulu."
Karen mengangguk mengiyakan. Lalu aku melakukan apa yang tadi kuinginkan. Menghapus jejak air mata di wajah Karen. Selama itu juga Karen tidak berbicara ataupun melayangkan sebuah pukulan padaku. Wanita itu hanya diam, memandangku dengan kedua matanya yang berkilau diterpa matahari siang.
Belum selesai aku menyeka wajahnya, Karen menepis tanganku agar menjauh darinya. Kepalanya ditundukkan, seakan berusaha menghindari kontak mata denganku. Tampak Karen meneguk ludahnya sampai beberapa kali sebelum mulai berbicara. "Aku tidak bisa membencimu, Jack."
Setetes air mata Karen jatuh ke pangkuannya.
"Bahkan saat kita bertengkar layaknya musuh bebuyutan. Bahkan saat aku tahu kau mencintai Janet. Bahkan saat kau menolakku. Aku... tidak bisa." Rasa perih menghiasi setiap kata yang dia keluarkan.
Karen menggigit bibirnya kuat-kuat, menghentikan isakan yang hampir keluar sekali lagi. Nafasnya mulai tidak beraturan. Kedua tangannya mencengkram satu sama lain terlalu erat. Alhasil, kukunya menancap terlalu dalam pada kulitnya, menimbulkan sebuah luka yang mengeluarkan darah.
Melihat itu semua, aku berusaha menghentikan Karen. "Cukup, Karen! Aku tidak butuh jawaban yang sampai membuatmu melukai diri sendiri!"
Salah satu tanganku memaksa Karen untuk balas menatapku. Semata-mata agar Karen mau menurutiku. Tapi kenyataan yang bersembunyi di balik mata hitam Karen berhasil membuat keadaan menjadi terbalik. Malah aku yang menurutinya dan tidak memaksanya untuk berhenti. Karena ekspresi Karen seakan mengatakan bahwa dia butuh mengatakan jawaban itu padaku. Bahwa luka lecet yang didapatnya sekarang, tidak akan sebanding dengan luka dalam hatinya yang akan disembuhkan oleh jawaban itu.
"Akibatnya... aku jadi takut kehilanganmu, Jack. Itulah alasanku menghindarimu selama ini."
"Karena aku terlalu mencintaimu untuk merelakanmu pergi."
**
Setelahnya, tangisan Karen pun pecah. Tidak lagi ditahan-tahan olehnya kesedihan yang memenuhi dirinya entah sejak kapan. Begitu juga dengan air mata dan ingusnya yang terus mengalir keluar membasahi sekitarnya.
Sebelum suara tangisannya terdengar oleh orang lain, aku membawa Karen keluar dari kedai kopi tersebut. Dan, untungnya Karen mau mengikutiku tanpa banyak bertanya seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...