NOTE:
Belum diedit, nih. Jadi kalau yang masih bisa sabar menunggu, jangan dibaca dulu hehe. Tunggu sekitar dua tiga hari lagi kalau mau baca versi sempurna part ini.
Karen's POV
Hembusan angin pendingin mobil Jack mengenai kulitku yang tidak tertutup pakaian. Tapi aku tidak mampu merasakan kesejukan yang seharusnya menyertai hembusan angin tersebut. Faktanya, aku tidak merasakan apapun selain rasa terbakar di mana Jack menyentuhku.
Tangan, pipi, dan sebentar lagi... bibirku.
Dengan sengaja, aku memajukan bibirku beberapa centimeter ke depan. Tujuannya jelas; agar aku bisa segera merasakan bibirku terbakar karena sentuhan bibir Jack.
Selain memonyongkan bibir, aku tidak melakukan gerakan lain. Akan kubiarkan Jack yang mengendalikan situasi kali ini. Walau mungkin di tengah-tengah kegiatan ini, kekuasaan akan kembali ke tanganku. Siapapun tahu serigala tidak boleh tunduk pada siapapun. Apalagi pada si tudung merah.
Satu detik...
Dua detik...
Mana bibirmu, Jack!?
Air yang sempat menumpuk di pelupuk mataku sudah menguap karena panas tubuhku. Dan bibir Jack masih saja belum mendarat ke tempatnya.
"Karen?"
Mungkin aku harus menunggu sampai tahun depan.
"Kenapa kau masih berbicara, Jack?" Balasku kesal.
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
Duukk!!
Spontan aku berhenti berdiam diri untuk memukul kepala Jack keras. Tatapan protesnya kubalas dengan pelototan galak ala Karen Paulina.
Beberapa detik kemudian, Jack menemukan keberaniannya kembali. Bule palsu itu mengeluarkan protesnya dalam bentuk kata-kata. "Untuk apa pukulan barusan?"
"Karena kau bodoh." Balasku kesal lalu melangkah keluar dari mobil.
Aku membanting pintu mobil Jack sampai menjatuhkan satpam yang sedang berjaga dari kursinya. Tapi belum sempat aku meninggalkan lapangan parkiran, bule palsu itu berhasil menahanku. Tangan hangatnya menggenggam milikku yang kedua kali. Membuatku mati-matian menahan senyuman bahagia tercetak di wajahku.
"Karen."
Mau tidak mau, pandanganku berfokus pada sosok tegap di hadapanku. Pertama-tama, mata abu-abu itu memastikanku sepenuhnya mendengarkan dirinya. Setelah itu, Jack mengulang pertanyaan terakhirnya untukku.
"Apa aku boleh menciummu?"
Kali ini Jack membuat amarahku naik sampai ke puncaknya. Dengan sangat kasar, aku menepis tangan bule palsu itu untuk memukul otak idiotnya lagi. "Jangan membuatku semakin naik darah, Ja..."
Cup
Walau sepertinya aku harus menunda keinginan itu untuk saat ini.
Apa yang baru Jack lakukan mengakibatkanku membeku selama beberapa detik. Benar-benar tidak bergerak sedikitpun. Tidak ada kedipan, tidak menarik nafas, bahkan jantungku juga pergi mengopi sesaat.
Semua karena sesuatu menyentuh pipiku, meninggalkan jejak basah, hangat dan menyenangkan pada satu waktu bersamaan. Dan sesuatu itu biasa kusebut bibir merah menggoda Jack Wilder.
Ya ampun... Kenapa kecupan di pipi saja bisa senikmat ini? Sampai sebesar inikah hasrat terpendamku akan Jack Wilder?
Jack menjauhkan kepalanya untuk menatapku langsung. Bibir yang baru mengecupku bergerak dan berbicara perlahan. "Aku butuh jawabanmu, Karen. Karena aku tidak bisa melakukannya tanpa izinmu terlebih dahulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...