Next Step is Nowhere to be Seen

4.7K 561 40
                                    

Karen's POV

Erick menarik paksa tiket pesawat itu dari tanganku, membuyarkan konsentrasiku saat membaca tulisan yang tertera lagi dan lagi. Aku melotot kesal menghadapi kelakuan tidak sopan Erick. Walaupun detik berikutnya dia menjelaskan alasan di balik tindakannya barusan.

"Maaf, Karen. Tapi aku harus menjaga baik-baik tiket pesawat ini sampai waktunya tiba." Jelas Erick, jari tangannya mengusap pelan ujung tiket pesawat itu yang sedikit terobek, tempat di mana tanganku tadi berada.

Decakan kesal keluar tanpa kusadari melihat salah satu alis bocah bule itu terangkat begitu pandangan kami berdua bertemu. Aku benci bocah bule ini.

"Kenapa kau menunjukkan hal itu padaku?"

"Karena Jack tidak akan melakukannya."

"Jack tidak akan melakukannya?" Aku mengulangi kalimat Erick dengan rasa bingung menerpaku. Kenapa Jack tidak bisa memberitahuku tentang kepergiannya?

Erick menegakkan tubuhnya yang sedari tadi bersandar pada sofa. Lalu bocah bule itu sedikit menunduk ke samping, menatap kedua mataku lekat.

"Apa kau pikir dia sanggup melihat kedua mata indah ini menangis lagi karenanya? Tentu saja tidak."

"Kalau berbicara jangan sembarangan, Bocah Bule!"

"Aku mengatakan kenyataan, Karen! Jack sangat memikirkan perasaanmu yang kau sendiri injak-injak!"

"Kalau begitu kenapa dia ingin pergi!?" Balasku tanpa sadar, yang kusesali pada detik berikutnya.

Erick berhenti berbicara, aku berdoa aku berhenti bernafas untuk beberapa menit. Amarah yang tidak terkontrol membuat pertanyaan yang terus kupendam membuncah keluar. Lalu mata yang berwarna sama dengan Jack menatap wajahku, meneliti setiap perubahan yang terjadi padanya.

"Kau sama bodohnya dengan Jack, ternyata."

Bletaak!

Kepalan tanganku menjitak kepala Erick pada detik berikutnya.

"Siapa yang tadi kau bilang bodoh, Bocah Bule?"

Di luar dugaan, Erick balas menjitakku. Aku, Karen Paulina, dijitak oleh bocah bau kencur yang sedang duduk di sampingku. Tidak bisa mencerna kejadian yang baru saja terjadi, aku terdiam untuk beberapa saat. Pada momen itulah, Erick berbicara seraya mencari jarak aman denganku.

"Kau bodoh, Karen Paulina. Kau mengorbankan perasaanmu sendiri hanya untuk memperkokoh karakter buatanmu sendiri!"

Yang tentunya tidak kudengar dengan jelas karena amarah telah menulikanku.

**

Berkat bocah bule menyebalkan itu, Jack tidak perlu menemuiku hari ini. Karena aku sudah pergi meninggalkan apartemennya setelah puas mencubit pipi Erick.

Sial. Pikiranku tidak bisa tenang. Kalimat dari Erick si Bocah Bule masih bergaung keras di dalamnya tanpa henti. Akibatnya, aku tidak bisa kembali pulang ke rumahku sekarang. Aku khawatir aku akan meledakkan rumahku kalau aku berada di dalamnya.

Aku menghentikan laju mobilku di bawah bayang-bayang sebuah pohon rindang. Sengaja aku mematikan mesin dan membuka jendela mobil untuk membiarkan angin alam menghiburku. Posisi bangku kemudi kuubah agar aku dapat berbaring terlentang.

Suara laju kendaraan lain sesekali memecah kesunyian yang mengurungku saat ini. Tapi suara-suara yang berteriak dalam diriku membuatku tidak begitu memperhatikannya. Padahal suara laju kendaraan akan lebih menarik untuk didengar daripada teriakan memilukan diriku.

Sial. Jack akan pergi.

Sial. Dia mungkin tidak akan kembali.

Sial. Dia mungkin akan menemukan pengganti Janet di sana.

Sial. Lagi-lagi aku hanya bisa mengumpat kesal tanpa suara.

Butir-butir keringat mulai mencari celah dari pori-pori kulitku akibat teriknya matahari. Punggung tanganku menelusuri dahiku, lalu entah kenapa berakhir pada kedua mataku dan aku baru menyadarinya. Aneh. Jelas-jelas tidak ada yang bisa kuhapus dari kedua mataku.

**

Saat aku tiba di depan rumahku, mobil Jack telah terparkir rapi di sebelah pintu pagar. Tentu saja lengkap dengan pemiliknya yang berdiri tepat di pintu pagarku. Memang benar dugaanku bahwa Jack memiliki bakat untuk menjadi rentenir.

Begitu aku keluar dari mobil, mata abu-abu itu langsung menatapku layaknya rentenir bertemu peminjamnya. Tanpa ragu aku berjalan menuju bule palsu itu dan menjitak kepalanya.

Tidak seperti biasanya, Jack tidak memprotes kelakuanku dan alih-alih bertanya hal yang lain. "Pergi ke mana kau tadi?"

"Di dalam mobil."

Mata abu-abu itu terlihat tidak percaya dengan jawabanku. "Setahuku perjalanan pulang dari apartemenku tidak memakan waktu begini lama."

"Setahuku apapun yang kulakukan bukan urusanmu, Jack."

"Aku khawatir denganmu, Karen. Kenapa sulit sekali untukmu menjawab pertanyaanku?"

Kalimat Jack membuatku mau tidak mau mundur dua langkah ke belakang, semata-mata agar Jack tidak bisa mendengar lompatan jantungku. Untuk mengembalikan situasi menjadi normal, aku mencubit pipi Jack singkat dan kencang.

"Jangan bicara sembarangan. Kau pikir Karen Paulina itu wanita lemah yang perlu dikhawatirkan?" Balasku tidak mau kalah dengan tatapan mata abu-abu itu.

Hembusan nafas lelah Jack keluarkan begitu mendengar jawabanku. Tangannya mengacak-acak rambut coklatnya frustasi. Mengetahui aku tidak akan menjawab pertanyaannya, Jack memutuskan untuk mengganti topik.

"Baiklah. Kalau begitu apa yang terjadi tadi?"

"Kalau pertanyaan itu, tanyakan pada bocah bule itu!" Jawabku spontan.

"Dia memanggilmu bodoh."

"Ya!"

"Lalu apalagi?"

Aku tertegun sejenak. Apa maksud Jack apalagi? Apakah Erick tidak menceritakan semuanya kepada Jack? Kenapa bocah bule itu berusaha menyembunyikan fakta bahwa aku telah tahu akan keberadaan tiket itu?

"Apalagi, Karen?"

"Aku yakin Erick sudah menceritakan padamu seluruh kejadian, Jack." Aku mencoba menunda memberitahu fakta ini pada Jack.

"Kau tidak butuh waktu selama tadi untuk menenangkan diri hanya karena dipanggil bodoh."

Tidak ada lagi alasan yang bisa kuberikan pada Jack. Aku hanya bisa diam menatap balik mata abu-abu itu, berharap kemampuan Jack membaca diriku tidak sehebat Erick. Tapi, harapan hanya tinggal harapan. Sebab tangan Jack perlahan mulai mengelus pipiku dan meninggalkan kehangatan padanya. Bule palsu itu tahu perasaanku.

"Biarkan aku mengetahui apa yang membuatmu seperti ini, Karen Paulina."

Suaraku berhenti di ujung lidahku dan tampaknya nyaman berada di sana. Menyampaikan kebenaran tentang bagaimana aku tidak bisa menerima kepergian Jack seakan bukanlah pilihan untuk kuambil.

Sial. Situasi macam ini membuatku memikirkan ulang kalimat Erick baik-baik. Bahwa aku telah terperangkap dalam karakter yang kubuat sendiri, karakter Karen Paulina yang kuat perkasa dan tidak pernah menginginkan Jack Wilder menjadi miliknya.

**

HEHEHHEHEHEHHEEHE....

#NoAuthorNote

Yang jelas aku seneng masih ada yang nagihin cerita walau udah bulanan berlalu.

When You're Not LookingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang