Aku mengabaikan panggilan Jack barusan. Lebih tepatnya, aku mengabaikan kehangatan genggaman tangannya, suara yang dia buat saat berusaha mengambil oksigen sebanyak mungkin dari udara, dan mata berwarna abu-abunya. Aku mengabaikan seluruh hal yang membuktikan bule palsu ini sedang berada di hadapanku. Semuanya semata-mata untuk memperkuat keyakinanku bahwa ini adalah mimpi di siang bolongku.
Aku melirik ke arah Jack sekali lagi. Dua kancing teratas kemeja Jack yang terbuka menarik perhatianku. Dan rambut coklatnya yang sedikit berantakan. Dan bibir merahnya yang terlihat sangat menggoda hari ini.
Ya, aku sangat yakin ini adalah Jack Wilder dari mimpi basah Karen Paulina.
Jadi sekarang masalahku berpusat pada satu hal. Bagaimana caranya bangun dari sebuah mimpi yang terasa begitu nyata?
Beberapa kali aku mengerjapkan mataku untuk melepaskan diri dari mimpi ini. Gagal. Setiap aku menutup mata, sosok Jack memang menghilang dan digantikan kegelapan total. Tapi setiap aku membuka mata, sosok Jack kembali dengan cahaya matahari siang yang membuatnya semakin mempesona.
"Kenapa sulit sekali bangun dari mimpi ini?" Gumamku kesal sambil menggosok kedua mataku keras-keras.
Tiba-tiba sebuah tangan menghalangi pergerakan tanganku. "Ini bukan mimpi, Karen."
"Kau berbicara."
Aneh. Selama ini, Jack dalam mimpiku tidak pernah berbicara. Mulutnya lebih suka berfokus pada hal-hal penting lainnya. Hal-hal penting yang tidak akan kujabarkan detailnya di sini.
"Tentu saja aku berbicara."
Kedua pupil mataku spontan melebar. Kepercayaan diri yang mengatakan bahwa ini adalah mimpi mulai terkikis sedikit demi sedikit. Aku mencubit pipiku sebagai usaha terakhir membangunkan diriku dari mimpi ini.
Sakit.
Artinya aku sudah terbangun.
Dan aku masih melihat Jack.
I'm a dead man.
**
Oh. Skenario kehidupan macam apa ini, Tuhan?
Dari semua menit yang ada pada satu hari ini, aku hanya menggunakan beberapa menit di antaranya untuk meluapkan perasaan terdalamku keras-keras. Dan harus di beberapa menit yang samalah, Jack datang menemuiku duluan di mana hal-hal seperti ini jarang terjadi dalam setahun.
Terlalu kebetulan. Terlalu terencana. Dan sayangnya sudah terjadi.
Tidak lagi terdengar deru nafas Jack yang begitu terengah-engah seperti tadi. Suara yang tersisa hanyalah detak jantungku... juga detak jantung bule palsu itu. Keduanya terdengar bekerja terlalu cepat. Sebuah reaksi normal ketika sebuah pernyataan cinta dari sepasang musuh bebuyutan terucap dan terdengar jelas.
Aku mencegah kegugupan menguasai diriku terlalu cepat. Walau sulit, aku menjauhkan tanganku dari wajahku dan balas menatap Jack. Setidaknya aku harus sedikit menjelaskan tentang sesuatu yang baru dia dengar. "Jack, aku..."
"Karen." Potong Jack sebelum aku menyelesaikan kalimatku.
Tatapan serius Jack membuatku tidak mampu memprotes kelakuannya. Kemudian Jack melepaskan genggamannya pada tanganku dan mengacak-acak rambutnya. Rasa bingung dan panik tergurat jelas di wajahnya.
"Kurasa saat ini... saat ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya."
Tiba-tiba tubuhku terasa dingin membeku. Terutama jari-jari tanganku yang beberapa saat lalu dilapisi oleh telapak tangan Jack.
Aku selalu tahu inilah yang akan terjadi jika Jack mengetahui perasaanku. Tapi nyatanya masih ada beberapa bagian dari diriku yang berharap Jack akan merengkuhku ke dalam pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...