Jack's POV
"Jadi, apa jawabanmu?"
"Maafkan aku, Karen..."
**
Dengan satu kali bunyi bel, pintu apartemenku terbuka dari dalam ruangan. Dan mataku langsung saja disuguhkan pemandangan menyeramkan. Mata melotot, gigi atas-bawah digesekkan satu sama lain kuat-kuat, dan rona merah di wajah Erick tanda dia sedang luar-biasa-marah.
Sungguh, luapan amarah dari Erick adalah hal terakhir yang kuinginkan saat ini.
Aku mengusap wajahku perlahan seraya memikirkan jalan keluar dari masalah ini. Keras dan keras aku berpikir. Tapi yang muncul di benakku adalah kenyamanan ketika menghempaskan diriku ke ranjang atau sofa yang nyaman dan empuk. Rasa lelah jelas sudah membekukan kerja sel-sel otakku.
Kedua kakiku yang mulai gemetar memutuskan melakukan apa yang dia pikir benar untuk dilakukan. Aku melangkah melewati Erick yang berdiri di depan pintu, terus berjalan sampai aku tiba di depan sofaku.
Tanpa ragu aku mengistirahatkan tubuhku di atas sofa itu, memberikan keempukan sofa itu kesempatan untuk mengisi 'baterai'ku yang kosong entah sejak kapan. Kelopak mataku tertutup dan menikmati aliran energi yang mengaliri tubuhku. Dari kepala sampai ujung jari-jari kakiku.
Bunyi detak jam dan detak jantungku berharmoni indah dalam keheningan malam. Begitu nyaman sampai aku hampir terlelap. Jika saja aku tidak ingat Erick sedang marah dan aku belum tahu penyebabnya.
Walau sedikit tidak rela, aku kembali ke alam sadar dan membuka mataku. Detik itu juga rasa letih datang menyerangku, membuatku meringis saat rasa menyebalkan itu merontokkan persendianku. Untungnya, aku tidak perlu bergerak banyak untuk mencari keberadaan Erick.
Karena Erick sedang berdiri di depanku lengkap dengan pelototan penjaga pintu nerakanya.
"Ada apa, Erick?" Aku membuka percakapan.
"Kau melarangku pulang malam, tapi kau sendiri melakukannya."
Erick menyilangkan kedua tangannya di depan dada, setelah sebelumnya menunjuk ke arah jam dinding yang menempel di tembok.
Mataku mengikuti arah yang ditunjuk Erick dan membaca waktu yang tertera di sana. Pukul 11.20 malam.
Aku jelas melanggar jam malam yang kupaksa untuk Erick turuti. Dan tidak ada yang bisa kulakukan kecuali meminta maaf.
"Maaf, Erick. Tadi ada banyak hal yang harus kuselesaikan hari ini juga."
Mendengar permintaan maafku, Erick mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya keluar sedikit demi sedikit. Ekspresi wajahnya mulai melunak. Lalu dia mengibaskan kedua tangannya kesal ke udara dan memberiku sebuah syarat untuk dipenuhi.
"Balasannya, kau harus meyakinkan Ma dan Pa untuk mengizinkanku menekuni dunia fashion."
"Deal."
Mudah untuk memenuhi permintaannya. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena Ma dan Pa telah mengizinkannya dari dulu. Mereka hanya belum ingin memberitahu Erick sampai dia lulus nanti.
Erick bersenandung gembira mendapatkan dukunganku. Sedikit-sedikit Erick menggoyangkan pinggulnya mengikuti nada buatannya sendiri. Aku menggelengkan kepala dan hanya tertawa melihat tarian kegirangan Erick. Erick memang tidak pernah setengah-setengah dalam mengekspresikan perasaannya. Begitu berbeda dengan...
Tawaku langsung menghilang begitu sebuah nama muncul di pikiranku.
Ya. Erick begitu berbeda dengan Karen, wanita yang tidak pernah menunjukkan apapun selain kekesalan tidak berujung padaku. Sehingga baru hari ini aku dapat mengetahui keberadaan perasaan lainnya. Perasaan lain yang khusus ditujukan padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
عاطفيةWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...