Tamed by... Jack Wilder?

4K 439 10
                                    

Karen's POV

Memalukan.

Apa yang terjadi pada hari itu benar-benar memalukan. Hari di mana aku lari dari seorang bule palsu bernama Jack Wilder. Semata-mata karena aku tidak bisa menjawab pertanyaannya atau menatap mata abu-abunya lebih lama lagi.

Harga diriku yang tinggi sekarang menggeram meminta penjelasan. Menurutnya, tidak ada penjelasan yang masuk akal atas tindakan tersebut. Seharusnya, aku bisa bersikap biasa dengan cara memukul kepala Jack ketika aku tidak ingin menjawabnya.

Situasi bertambah rumit ketika kusadari, aku masih menghindari Jack. Malahan hal menyebalkan ini telah menjelma menjadi rutinitas harianku. Dan tidak sekalipun aku absen melakukannya. Termasuk hari ini.

Baru saja tanganku meraba-raba meja kecil di sebelah tempat tidurku, tempat handphoneku berada. Kemudian begitu menemukannya, aku langsung menekan suatu tombol yang menyebabkan alunan musik dari benda tersebut berhenti. Tombol reject.

Aku mengubah posisi tengkurapku menjadi duduk bersandar pada tembok yang menempel dengan tempat tidurku. Leherku yang kaku kuayunkan ke kanan dan kiri sampai sendi-sendinya menimbulkan bunyi patah. Setelah menarik nafas panjang beberapa kali, aku mengecek daftar panggilan teleponku. Sekadar memastikan aku tidak memutuskan panggilan telepon yang salah.

Melihat nama yang terdapat di barisan teratas dalam daftar panggilanku, aku harus sekali lagi menghembuskan nafas panjang dari mulutku. Beban pikiranku serasa bertambah berkali-kali lipat melalui setiap tombol reject yang kuberikan untuk panggilan dari Jack.

Bagaimana mungkin aku bisa menemui Jack, jika aku sendiri belum siap mendengar suaranya tepat di telingaku?

**

Waktu terus berjalan. Aku mulai kehilangan kesabaran pada diriku sendiri. Tidak ada perubahan dalam sikapku menanggapi usaha Jack untuk bertatap muka denganku. Malah kurasakan sikapku semakin memburuk karena mulai melibatkan orang-orang di sekitarku.

Bermula dari kedua mataku yang mencari keberadaan kalender hampir setiap saat. Lalu, tanpa seizinku, otakku akan menghitung mundur mulai dari hari ini sampai hari keberangkatan Jack. Begitu aku menghasilkan angka yang semakin hari semakin berkurang, emosiku terbakar tanpa sebab. Aku merasa begitu marah, begitu kesal. Alhasil, aku selalu menggeram secara spontan sebagai pelampiasan kekesalanku.

Dan hari ini, untuk kesekian kalinya, hal ini membuat orang-orang sekitarku menggigil ketakutan.

Mengingat aku bertahan di kantor melewati jam pulang, hanya ada dua orang yang sedang menatapku penuh ketakutan. Bossku dan Fiandra Kanari, wanita berdada melon yang duduk di sebelahku.

Aku balas menatap bosku.Yang ditatap meresponnya dengan melompat kaget dari bangkunya. Wajahnya memucat seketika. Terpaksa aku memberikan bosku yang mudah pingsan ini sedikit penjelasan. "Jangan pedulikan geramanku barusan, Boss. Itu bukan untukmu."

Bossku mengangguk-angguk mendengarkanku. Walau tatapannya masih menunjukkan kewaspadaan tingkat tingginya yang dia buat khusus untukku. Tidak perlu waktu lama bagi bosku untuk tenggelam ke dalam tulisannya lagi. Jari-jari tangannya merangkai kata-kata dalam komputernya seperti air mengalir, tidak ada jeda. Sedangkan aku telah menghabiskan lima belas menit memandangi lembar kosong MS Word di layar komputerku. Mirip aliran sungai yang telah dibendung, tidak ada kemajuan.

Berusaha mencari inspirasi, aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Dan menemukan ada seseorang yang tatapannya masih terpaku padaku. Aku memijat mata lelahku seraya berbicara, "Bukan untukmu juga, Fia. Jadi kau bisa berhenti mengawasiku."

Ketika aku kembali membuka kedua mataku, tatapan Fia tetap tidak berpindah dariku.

"Aku rasa kau sedang butuh seseorang untuk diajak bicara."

Tawa hambarku keluar, menunjukkan betapa tertariknya aku membahas masalah pribadiku dengannya. "Sayangnya, aku tidak merasakan hal yang sama."

Fia tidak merespon. Bagus. Menghindari percakapan yang lainnya, aku memaksa diriku mengetik apapun.

Suara ketukan antara pulpen dan meja mengganggu proses pembangunan konsentrasiku. Terpaksa aku mengedarkan pandanganku dan menemukan Fialah pelaku kebisingan barusan. Masih belum bosan menatapku, rupanya.

"Sudah kubilang, aku tidak butuh bicara ataupun didengarkan, Fia!" Tegasku sekali lagi.

Detik berikutnya, kurasakan sebuah tangan bercat kuku merah menyala mencengkram pakaianku. Tangan milik Fia. Aku berniat berteriak marah sebelum didahului oleh wanita itu. Berkebalikan denganku, suara Fia tenang, tanpa ada indikasi peningkatan emosi di dalamnya. Dan lebih menyebalkan dari biasanya.

"Bukan itu kesan yang kudapatkan ketika mendengar geramanmu."

"Jadi? Kesan apa yang kau dapat dariku sampai kau sengotot ini?"

"Ketakutan, Karen. Kau takut menghadapi sesuatu dan menutupinya dengan amarahmu, agar dirimu sendiri tidak bisa menyadarinya."

**

Sial. Hanya tersisa rumah sebagai tempatku mendapatkan ketenangan.

Karena berkat Fiandra Kanari, yang tiba-tiba berganti profesi menjadi penganalisa geraman Karen Paulina, aku tidak bisa mendapatkan hal yang sama di kantor. Beberapa kali dia mencoba membuatku membicarakan sumber kekesalanku. Dan jika aku tidak kunjung menanggapinya, dia dengan dada melonnya akan terus mengamati gerak-gerikku.

Benar-benar menyebalkan. Apalagi analisa konyolnya tentang ketakutanku pada sesuatu. Huh, sejak kapan pula Karen Paulina merasakan takut?

Baru aku ingin mencela dada melon itu untuk kesekian kalinya, sampai aku mendengar bunyi yang mengurangi separuh umurku. Suara sebuah mobil yang melaju dan berhenti di dekat rumahku.

Saat itu juga tubuhku berhenti bergerak, seakan mencegah timbul suara apapun yang menandakan keberadaanku. Walau anehnya, jantungku malah melakukan hal yang berbeda. Detaknya semakin dan semakin cepat.

Hal ini baru akan hilang setelah aku memastikan bahwa pemilik mobil tidak sedang mencariku. Atau, setidaknya setelah mengetahui, iris mata pemilik mobil itu berwarna hitam atau coklat.

Aku menghela nafas lega sesudah mengintip keadaan luar dari jendela. Mobil tetangga sebelah, rupanya. Kedua telapak tanganku yang berkeringat kuseka dengan punggung tangan. Saraf-saraf tubuhku yang terlanjur tegang, membuatku merebahkan diriku di atas sofa yang kuletakkan di ruang tamu.

Mataku memandang langit-langit ruangan lama. Sekedar merenung dan berpikir. Hanya untuk menyesalinya di kemudian waktu.

Apakah aku baru saja merasa takut karena mengira mobil tetangga adalah mobil Jack?

**

When You're Not LookingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang