Karen's POV
Wajah itu merengut, tanda suasana hatinya sedang tidak senang. Aku, yang yakin tidak melakukan kesalahan apapun, memilih untuk mengabaikannya dan berfokus membereskan rambutku yang berantakan.
Akhirnya, merasa teguran tanpa katanya tidak berefek padaku, pria itu mulai membuka mulutnya. "Karen, kau sudah berjanji padaku untuk melupakan kejadian yang telah lewat."
"Aku tidak melanggar janjiku yang itu."
Mata berwarna abu-abu itu menatapku datar. "Lalu? Apa yang menyebabkan perkelahianmu dengan Erick tadi jika bukan karena kau kesal telah dipermainkan olehnya dulu?"
"Masalah lain."
Walau memang ada dendam yang tidak akan pernah hilang untuk masalah yang itu.
"Apa?"
"Tanya saja bocah bule itu."
Tatapanku berfokus pada seseorang yang berdiri di sudut ruangan berlawanan denganku. Pria yang lebih muda dariku beberapa tahun itu sedang menjulurkan lidahnya ke arahku. Aku sudah melompat bahkan berlari ke arahnya jika tidak ada tangan yang menahanku. Tangan Jack.
Jack menatapku dan Erick bergantian, seakan memastikan kami berdua masih berada di posisi aman, jauh dari jangkauan tangan satu sama lain. "Erick, lebih baik kau tunggu di luar." Saran Jack yang langsung dituruti Erick tanpa sedikitpun bantahan. Tidak lupa menghadiahkanku satu kali lagi peletan lidahnya. Bocah bule sialan.
Mata abu-abu Jack mengikuti pergerakan Erick sampai sosoknya menghilang di balik pintu. Kemudian, kembali kepadaku.
"Aku tidak akan melakukan apapun yang akan kau katakan." Tolakku terlebih dahulu sebelum Jack mengatakan apapun.
Salah satu alisnya terangkat, "Aku bahkan belum mengatakan apapun, Karen."
Aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada. "Aku sudah tahu jelas apa yang akan kau katakan, Jack. Kau akan membujukku untuk segera berbaikan dengan Erick, hal yang selalu kau lakukan setiap kali kami berdua bertengkar."
Mendengar jawabanku, Jack tertawa. Mata abu-abunya tampak berair karena tertawa terlalu keras. "Kau salah."
Jack melanjutkan kalimatnya setelah mampu mengontrol dirinya. "Aku tahu kalian berdua akan berbaikan dengan sendirinya. Dan andai memang aku ingin mengatakan sesuatu padamu..."
Tangan Jack menarik kedua tanganku pelan, menuntutku untuk bangkit dari dudukku. Pandangan mata kami berdua bertemu ketika aku berhadapan dengannya. Bule palsu itu melanjutkan kalimatnya, "...maka yang akan kukatakan adalah betapa cantiknya sosokmu dengan gaun pengantin itu."
Sial, kapan jantungku akan terbiasa dengan pujian-pujian mendadak macam ini dari Jack?
Tawa kecil dikeluarkan Jack saat menatapku. Sebuah pertanda bahwa wajahku sudah memerah sepenuhnya saat ini.
"Huh! Aku tidak butuh gombalan macam itu untuk mengetahui kecantikanku sendiri!"
"Tapi, wajahmu mengatakan hal yang sebaliknya, Karen. Kau senang mendengar gombalan macam itu."
Mekanisme pertahanan diriku mulai aktif. Tanganku bergerak dan mencubit kedua pipi Jack keras.
"Heh! Bule palsu tidak peka sepertimu jangan berlagak menjadi peka tanpa ada sebab!"
Tanpa sengaja, dendam masa lalu malah keluar merembes. Rasanya aku ingin mencubit mulutku sendiri karena membawa ketidakpekaan Jack yang memang tidak bisa diubah.
Sebelum aku sempat mengatakan apapun, Jack balas mencubit hidungku. "Tidak, tidak. Kau benar. Aku memang masih bule palsu tidak peka dalam urusan memahamimu."
Kesedihan terkandung dalam perkataannya, membuatku merasa semakin bersalah. Aku melepaskan cubitanku padanya dan memilih mengelus wajahnya. "Aku, aku tidak bermaksud mengatakan itu..."
"Karena itulah, aku masih perlu bertanya padamu... bolehkah aku menciummu saat ini?"
"A... Apa!?"
"Bolehkah aku menciummu?"
Bibirnya perlahan melengkung membentuk sebuah senyuman. Sialan! Ternyata bule palsu ini mengerjaiku. Dia berpura-pura sedih sejak tadi hanya untuk menanyakan pertanyaan macam ini.
"Tidak ada jawaban?"
"Menurutmu!?" Teriakku kesal seraya menghadiahkan Jack tinju kebanggaanku yang mengenai dahinya.
Berbeda dengan biasanya, kali ini mata abu-abu itu mampu menatapku intens tanpa meringis kesakitan sedikitpun. Setelah memastikan perhatianku terfokus padanya, perlahan, Jack berbisik, "Aku serius menginginkannya, Karen."
Tidak ada nada usil yang menyebalkan di dalam kalimat terakhir Jack.
"Kalau tidak ada penolakan, berarti aku boleh melakukannya, bukan?"
Sudut mata abu-abu itu berkerut ketika ujung bibirnya tertarik ke atas. Lagi-lagi bule palsu ini tersenyum. Dan, lagi-lagi, tubuhku meniru kelakuannya tanpa sebab. Tersenyum, lebar, tulus, hanya karena pria di hadapanku menatap langsung ke arahku dan tersenyum untukku.
**
Aku tersenyum. Sampai nada dering handphoneku mengalun dengan nyaringnya.
Jack memutuskan tatapannya padaku dan mengambil handphoneku. Matanya melirik ke arah layar dan memencet salah satu tombol, yang kuduga tombol untuk menerima panggilan telepon. Suara samar-samar terdengar sementara pria itu menyimak perkataan sang penelepon baik-baik.
Tidak butuh waktu lama sampai Jack memberikan handphoneku ke tanganku, dengan keadaan loudspeaker. Layar handphoneku hitam, sehingga tidak memungkinkanku melihat siapa peneleponnya sebelum aku berbicara.
"Halo?" Panggilku setengah ragu dengan handphone di tangan kananku.
Lalu terdengarlah suara paling menyebalkan yang pernah kudengar. Erick.
"Halo, Karen? Aku baru menemukan cara untuk memperkecil bagian dada baju pengantin yang kau inginkan. Jadi kau tidak perlu bersusah-susah memasukkan kain ke dalamnya seperti saat ini."
Mata abu-abu Jack menatap wajahku, turun ke bawah, lalu kembali ke wajahku. Ekspresi terkejut tercetak jelas di wajahnya.
Erick terus berbicara tanpa henti bahkan sebelum aku mengatakan apapun. "Nanti aku akan meminta Ma mengukur tubuhmu terlebih dulu. By the way, bagian perutnya mau dilebarkan juga? Aku tahu kau tidak bisa bernafas lega sejak tadi karena takut ada bagian yang robek sebelum kau membelinya."
Kali ini Jack memalingkan wajahnya dariku, dirinya memutuskan menatap dinding tembok.
"Kau tidak perlu mengatakan terima kasih, Karen, aku ikhlas melakukannya untukmu."
Itulah kalimat terakhir Erick sebelum memutuskan panggilannya.
Walau kemudian aku meneleponnya kembali, hanya untuk menyampaikan satu kalimat padanya.
"Halo, ada apa?"
"Enjoy your last day on earth, Erick."
Karena jelas aku akan membunuh bocah bule ini malam ini juga!
**
end
**
Yeaaayyyy officially end! Terima kasih untuk yang sudah memberikan komentar di part terakhir. Terima kasih sudah mengapresiasi dan mengkritik karyaku dengan sangat baik. Sekarang cerita ini habis haha.
Mungkin gak ada yang baca lagi, tapi karena udh janji ya udh aku buat aja.
Babai!
**
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...