Kejadian waktu itu memberikanku semacam trauma untuk bertemu dengan Jack lagi. Karena tidak seharusnya seorang Karen Paulina merasa begitu lemah dan tidak berdaya.
Tapi seperti biasa, pasangan Janet-Daniel selalu membuat rencana yang melibatkanku tanpa menunggu persetujuan dariku. Seakan sengaja, mereka menagih janjiku dan janji Jack untuk makan siang bersama mereka di hari yang sama pula.
Jadi di sinilah aku, kembali duduk di sebelah bule palsu itu seperti tiga hari yang lalu. Bedanya sekarang kami bersama Janet dan Daniel di dalam sebuah restoran.
Selagi menunggu pesanan makanan keluar, Janet dan Daniel mengobrol sambil diselingi tawa bahagia. Sementara kami yang berada di seberang seakan kembali ke zaman es saat-saat dinosaurus punah. Hening dan dingin.
Untung akhirnya handphoneku berhasil mengangkatku keluar dari neraka kesunyian ini. Ada yang meneleponku. Setelah meminta izin untuk mengangkatnya, aku pergi ke ujung restoran yang sepi pengunjung.
Baru aku mau berterima kasih pada siapapun yang meneleponku saat ini, tapi nama di layar handphoneku membatalkan niat baik tersebut. Mama calling.
Aku menepuk kepalaku pasrah kemudian menekan tombol accept di handphoneku. Telinga cantikku langsung diserbu oleh pertanyaan sehari-hari Mama. "Di mana?" "Ngapain?" "Pulang kapan?". Semuanya kujawab dengan jujur seperti fakta, karena besar dosanya membohongi orang tua. Tapi mungkin sekali dua kali aku harus berbohong pada Mama untuk mencegah bencana besar menimpaku. Seperti sekarang,
Saat mendengar aku sedang makan siang bersama Janet dan suaminya beserta Jack, Mama langsung berteriak histeris. Telingaku berdengung untuk sesaat mendengar suara melengking Mama.
Suatu pikiran menendang otakku sampai ke pantatku begitu dia kembali beroperasi. Bodohnya aku! Tadi aku menyebutkan nama Jack tepat di telinga Mama, si pengagum berat Jack!
Sebelum aku sempat mengarang suatu kebohongan, suara Mama berubah menjadi begitu memohon untuk diperbolehkan mengobrol dengan pujaan hatinya. Kalau sudah begini aku tidak punya pilihan lain lagi. Aku hanya bisa memanggil Jack dan menyerahkan handphone ini padanya.
Dengan satu lambaian, Jack berjalan ke ujung restoran tempat aku bersembunyi dari tadi. Lalu aku menyerahkan handphoneku pada tangannya tanpa menjelaskan apapun. Jack bertanya sesuatu tapi aku terlalu malas untuk menjelaskan.
Akhirnya Jack hanya mengarahkan handphoneku ke telinganya dan mulai berbicara. Suara Jack berubah menjadi sopan saat menyadari sang penelepon adalah mamaku."Mamamu masih sesemangat dulu." Ucap Jack setelah pembicaraan terpaksa diputus karena makanan telah tiba. Tentu saja aku yang memutuskannya.
"Dan masih cinta mati denganmu." Gerutuku kesal mengingat bagaimana tadi Mama memarahiku karena ingin memutuskan sambungan telepon.
Mulai dari pertemuan pertama kali Mama dengan Jack, kata 'Jack Wilder' jadi terlarang untuk diucapkan. Apalagi sekarang saat Papa dan Mama bertambah tua. Pesona Jack Wilder terlalu kuat untuk jantung Mama yang lemah dan darah tinggi Papa yang cemburuan.
"Seingatku, kau bilang ada alasan mamamu begitu menyukaiku?"
"Cinta pertamanya itu bule juga. Dan kebetulan bulenya mirip denganmu."
"Ya, aku sering bertemu orang yang sangat mirip denganku. Tapi untung kau dan Janet tetap bisa mengenaliku sekali lihat." Jack menepuk bahuku pelan sambil tertawa kecil.
"Sulit untuk melupakan bule palsu sepertimu." Aku membalas menepuknya di bahu. Memukul lebih tepatnya.
Jack tidak membalas perkataanku dan hanya tersenyum seraya berjalan kembali ke meja. Merasakan ini pertama kalinya Jack tersenyum setelah aku memukulnya membuatku sedikit merinding. Ada apa dengan bule palsu itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...