Jack's POV
Baru kutinggalkan Erick sendirian sebentar saja, dia sudah berulah macam-macam. Terlihat jelas dari kedua pipinya yang bengkak kemerahan saat membukakanku pintu.
"Kenapa pipimu?"
"Kandjnhirh!" Keluhnya kesal. Erick berusaha sebisa mungkin tidak menggerakkan mulutnya terlalu banyak untuk meminimalisir sakit yang dirasakannya. Hasilnya, suaranya seperti orang berkumur-kumur yang sama sekali tidak bisa kumengerti.
"Apa?"
"Kanndinhie!"
"Apa?"
Setelah menepuk dahinya sendiri keras, akhirnya aku mengerti apa yang dari tadi dikatakan Erick. "KAREN!" Teriak Erick kesal yang diikuti oleh ringisan pedih.
"Karen di sini? Tapi tidak ada sepatunya di depan pintu."
"Pumnskang."
"Apa?"
"PULANG!" Teriak Erick untuk kedua kalinya.
"Pulang? Apa yang kau lakukan tadi?"
Erick melotot ke arahku, tanda tidak terima dengan pertanyaan terakhirku. Salah satu tangannya diletakkan di depan dadanya untuk mendramatisir keadaan. "Kenapa aku menjadi yang tertuduh di sini?"
Aku diam menatap adik laki-lakiku satu-satunya ini. Sedikit bertanya-tanya dalam hati, kemana sakit yang membuat Erick berbicara seperti berkumur tadi?
"Siapa lagi selain kau yang bisa kucurigai?"
Bukanlah sebuah rahasia tentang kebiasaan Erick membuat Karen marah setiap saat mereka bertemu. Tapi, baru kali ini Karen begitu marah sampai pergi meninggalkan apartemenku cepat-cepat.
"Aku memanggilnya bodoh."
"Hanya itu?"
Erick menganggukkan kepalanya mantap. Walau kedua matanya tidak terlihat setuju dengan tindakannya barusan.
"Kau yakin hanya itu?"
Menyadari nada curiga dalam pertanyaanku, Erick kembali mengangguk-angguk. Hanya saja sekarang dia melakukannya dengan mata tertutup.
"Mataku kelilipan angin, perih." Tangan kanannya mulai menggosok kelopak matanya.
Kuabaikan alasan tidak masuk akal Erick dan bertanya hal lain. "Sejak kapan Karen pergi?"
"Sekitar lima belas menit yang lalu."
Plastik berisi tiga kotak makanan yang masih hangat dan utuh kuletakkan di meja makan. Lalu, salah satunya kembali kubawa keluar dari apartemenku.
Erick masih berdoa sambil berdiri. Buru-buru kutepuk kepalanya agar dia segera membuka mata. Tepukan itu bekerja dengan efektif. Kedua mata Erick langsung membuka lebar, bahkan adikku itu sampai-sampai melotot ke arahku.
Tidak sempat aku menanyakan arti reaksi berlebihan dari Erick ini, karena posisiku yang sudah cukup jauh darinya. Alhasil, aku hanya bisa mengatakan kemana tujuanku. "Aku pergi memberikan makanan kepada Karen. Dan, Erick, jangan berani membohongiku lagi atau kau tahu akibatnya."
**
Hal berikutnya yang terjadi bukanlah sesuatu yang kuperkirakan. Aku sampai di rumah Karen sebelum dirinya. Aku menunggu di depan rumahnya dengan rasa khawatir yang membesar setiap menitnya selama satu jam lebih. Kemudian, aku semakin dibuatnya khawatir oleh kehadiran sebuah luka yang bersembunyi di balik bola mata hitamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...