Jack's POV
Tadi malam bunyi telepon, sekarang bunyi gedoran pintu. Kenapa aku tidak bisa hidup tenang di kediamanku sendiri?
Kedua tanganku menutupi seluruh wajahku mencoba merasakan gangguan kedua ini adalah mimpi. Tapi bunyi gedoran pintu semakin kencang dan kencang, menuntutku untuk segera keluar. Pasrah, aku menggosok kedua mataku keras agar aku bisa membukanya.
Perlu beberapa saat untuk kedua mataku menyesuaikan diri dengan sinar matahari pagi. Tapi siapapun yang menggedor pintuku jelas bukan orang yang mampu menunggu beberapa detik lebih lama lagi.
Aku menabrak beberapa barang dalam perjalananku menuju pintu. Lalu yang kudapatkan setelahnya adalah wajah siap membunuh milik Karen. Lengkap dengan tatapan penuh tekanan dari kedua mata hitamnya.
"Kau baru bangun tidur?" Teriak Karen tidak terima melihat penampilanku yang masih acak-acakan membuka pintu.
Tubuhku yang belum bisa berdiri tegak aku senderkan pada dinding. Suatu tindakan biasa yang entah kenapa mengundang decakan kesal Karen. Bahkan Karen menolak memandang ke arahku. "Aku baru tidur subuh tadi setelah menjemput seseorang dari bandara, jadi wajar aku baru bangun sekarang."
"Mau apa kau datang ke sini, Karen?" Lanjutku menyadari ada sesuatu yang aneh. Karen Paulina tidak pernah datang ke rumah seseorang karena ingin mengobrol santai pada pemilik rumah.
"Memenuhi permintaan dalam pesan singkatmu untuk datang menemuimu. Tapi ternyata keadaanmu masih jelek begini."
Karen menggerakkan tangannya ke atas bawah, begitu terganggu dengan kaus T-shirt, celana pendek, dan rambut berantakanku. Kalimat menghina Karen kuabaikan untuk berfokus pada kalimat sebelumnya.
"Aku tidak mengirimkanmu apapun." Jawabku jujur.
Tingkat kekesalan Karen padaku naik satu tingkat mendengar jawabanku. Dari tas tangannya, Karen mengeluarkan handphone miliknya dan mengarahkan layarnya ke arahku. Sebuah pesan singkat atas nama Bule Palsu masuk ke kotak masuk pukul enam pagi. "Masih bilang kau tidak mengirimkanku apa-apa?"
Rasa kantukku langsung hilang dan berganti dengan bingung.
Aku bahkan tidak pergi ke toilet sekalipun saat aku kembali ke apartemen pukul empat subuh. Seingatku yang aku lakukan dengan handphone-ku terakhir kali tadi pagi adalah memberikannya pada....
Sial, pasti ini kerjaannya.
"Bukan aku yang mengirimkan pesan singkat itu. Tapi aku tahu siapa pelakunya."
Dahi Karen berkerut bingung dan aku segera memasang pose waspada. Karena sesuatu yang membingungkan wanita ini akan mengesalkannya. Dan ketika ada sesuatu yang mengesalkannya, maka aku akan menjadi pelampiasan kesalnya. Sebelum Karen melakukan hal yang berbahaya, aku membuka pintu lebih lebar untuk memberinya celah menyelinap masuk.
Karen menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil melirik kesal ke arahku. "Aku tidak ingin masuk ke dalam. Aku ingin tahu siapa pelaku keisengan tidak lucu ini."
"Pelakunya ada di dalam."
Mata hitam Karen menyorotkan ketidakpercayaan pada kata-kataku. Ya, Karen pasti masih ingat bahwa aku masih lajang dan tinggal sendirian selama ini. Tapi hal itu tidak berlaku sejak subuh tadi dan beberapa hari ke depan. Ada seseorang, yaitu pelaku keisengan lewat pesan singkat ini, sedang tinggal bersamaku.
"Orang yang tadi pagi aku jemput dari bandara adalah orang yang kau inginkan. Dan dia menginap di sini."
"Siapa dia?"
"Masuk dan lihat langsung orangnya. Walau aku ragu kau akan menyukainya."
Seakan-akan tidak punya pilihan lain, Karen melewatiku dengan langkah kaki yang berat. Begitu Karen berada di dalam apartemenku, aku meninggalkan ruang tamu dan berjalan menuju kamar tidur. Karen dengan tampang kesalnya memilih mengikuti langkahku tanpa banyak bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When You're Not Looking
RomanceWarning! Cerita telah diprivate untuk beberapa bagian! Bagi Karen Paulina dan Jack Wilder, usia hanyalah angka belaka. Karena di usia mereka ke 26 pun, mereka berdua tetap membawa hal-hal yang dimulai sejak SMA dan seharusnya berakhir di tahun terak...