13. Burger Pisang Goreng

23 1 0
                                    

Mengapa tameng kayu ini berdebu? Apakah Virm tidak berlatih hari ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mengapa tameng kayu ini berdebu? Apakah Virm tidak berlatih hari ini?

Aku langsung meringis memejamkan mata dan menekan kedua sisi pelipisku. Terasa seperti nadi di kepalaku baru saja tersentak sesuatu. Apa yang baru saja aku pikirkan? Siapa itu Virm?

Oh, benar. Dia adalah adik lelaki Beln. Malam ini para prajurit akan tiba dari medan pertempuran, perang telah usai, dan anak itu tidak sabar untuk bertemu ayahnya. Ayah mereka. Lalu apa yang anak satunya lagi pikirkan? Mengapa dia membelakangi perayaan kemenangan negerinya?

Aku mengikuti bocah itu, dia pasti adalah aku, Beln. Di bawah langit yang mendung, dia mengendap-endap ke bukit, berlari menuju sumber cahaya senja hingga hamparan bukit tiada lagi menghalangi penglihatannya dari danau luas itu di barat. Danaunya berwarna ungu, jernih, dengan sedikit gemerlap pantulan cahaya. Semua orang pasti ada di sana, makanya aku tidak melihat ada perahu-perahu kecil nelayan yang berlayar di danau. Dari sini aku juga menyaksikan obor-obor dinyalakan dan lampion-lampion mulai beterbangan di balai kota.

Pemandangan yang sama sekali tidak asing, seperti bintang yang bertabur ... di langit temaram.

Beln menemui seorang pria tua berjubah tebal yang bersimpuh di atas bebatuan basal. Angin melambai-lambaikan syalnya saat mereka mulai berbicara. Pria tua itu memberikan sebuah benda dengan tangan kanannya kepada si bocah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas atau mendengar apapun dari jarak ini. Saat aku berniat untuk mendekat, bubungan awan di ufuk barat terpecah dan sinar matahari tiba-tiba membanjiri seluruh tempat ini. Begitu menyilaukan hingga aku harus menutup mataku.

Terkejut, aku kehilangan tumpuan. Aku terjun ke dalam jurang yang seharusnya tidak ada. Aku berteriak untuk meminta tolong, berkali-kali hingga tengorokanku mulai perih. Tanpa sadar aku telah jatuh begitu dalam, sangat lama. Seberapa dalam jurang ini? Sinar mentari terakhir sudah terlalu jauh di atas sana. Saat aku memberanikan diri untuk melihat ke bawah, wajahku menghantam permukaan air.

Sekuat apapun aku berusaha berenang ke atas, sesuatu yang menarikku dari bawah tidak kunjung melepaskanku. Hingga akhirnya aku mulai menyerah. Aku membiarkan diriku tenggelam, tertarik ke kedalaman. Lalu, air yang dingin perlahan menjadi hangat.

Tiba-tiba muncul cahaya.

Aku menarik napas dan yang kuhirup adalah udara. Aku melihat gedung-gedung pencakar langit tersibak dari kegelapan di dasar perairan.

Aku mendengar suara, dan yang kudengar adalah lelucon-lelucon ringan.

Aku .. meminta tolong, dan pertolongan datang.

***

Sekali lagi kutarik napas panjang, lalu kuhembuskan puas-puas dari mulut. Gadis kecil di sampingku mungkin menganggapku tidak sopan, dia berhenti menjilati es krimnya dan menatapku dengan tatapan sinis nan bingungnya. Mungkin karena aku melakukannya tiga kali. Biarkan saja, entah mengapa aku suka udara kota di siang hari. Relaksasi, bisa dibilang. Aku mungkin harus banyak menikmati udara segar untuk meminimalisir mimpi-mimpi mencekam dan absurd itu.

ALBIOS: TriviumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang