"SIAPA ORANG INI?" Aku memulai satu set pertanyaan lagi. Entah sudah berapa set yang aku ulangi hingga akhirnya kembali lagi pada pertanyaan siapa orang ini.
Tak ada yang bisa diterjemahkan dari ekspresiku saat itu kecuali terkejut atau mungkin bingung, atau keduanya? Entahlah. Wajah kurus nan pucat, mata kelabu pekat, dan rambut putih panjang acak-acakan yang tampak di genangan air itu harusnya adalah wajahku. Tidak ada pilihan selain memaksakan merasa familier dan menerima bahwa itu adalah aku, sebab aku tidak punya referensi yang cukup jelas tentang wajahku, tubuhku, namaku, ataupun kota aneh yang telah kukelilingi selama ini sejak aku sadar dari pingsan―atau tidur tadi.
Sangat sulit untuk menentukan apakah itu malam atau siang. Langitnya berwarna cokelat tua kehitaman seperti roti yang hampir gosong, bintik-bintik merah yang bertaburan layaknya bintang, dan awan keruh yang sangat aneh. Aku tidak yakin apakah benda bercahaya itu adalah bulan atau matahari tapi sinarnya yang remang-remang sangat tidak nyaman di mataku. Walau begitu, langit tidak dapat terlihat sepenuhnya di sepanjang jalan ini sebab bangunan-bangunan tinggi. Apabila benda langit itu bekerja selayaknya benda langit pada umumnya, setidaknya aku sudah berkeliling selama lebih dari dua jam.
Aku terbangun tepat di sebelah bak baja besar berisi sampah di jalan setapak, di antara bangunan-bangunan kumuh yang padat. Mungkin aroma tidak sedapnya yang menyadarkanku. Aku tidak tahu dari mana aku berasal dan apa yang telah terjadi sebelum aku sadar di sana. Aku juga tidak tahu mengapa badanku kurus sekali dan mengapa pakaianku sangat kotor dan compang-camping. Tanpa alas kaki. Jika seandainya aku sedang dalam perjalanan, mengalami kecelakaan dan sampai di tempat itu, setidaknya aku pasti membawa suatu tas atau barang persediaan atau apapun tapi tidak ada. Aku yakin aku bukan korban perampokan atau kejahatan semacamnya karena setelah kuperiksa, tak ada luka sedikitpun di tubuhku.
Racun? Hipnotis?
Aku ragu jika ada sihir yang bisa membuatku lupa semuanya selama dua jam lebih. Namun, apabila itu ada, maka aku tentu saja dalam masalah besar. Satu-satunya benda yang ada padaku dan bisa dengan mudah kuklaim sebagai milikku adalah kalung perak dengan mata kalung besi hitam yang berbentuk wajik ini. Walau demikian, tetap saja aku tak ingat apapun tentang kalung ini dan itu tidak banyak membantu.
Tempat itu sangat aneh. Luar biasa aneh. Jantungku tak pernah berhenti mencelus setiap kali bertemu dengan orang-orangnya. Aku tidak yakin apakah mereka orang, tapi mereka berbicara dan bertingkah seperti manusia biasa. Yah, setidaknya aku masih ingat seperti apa manusia berinteraksi. Tapi mereka bukanlah manusia. Seperti badak, kucing, buaya, makhluk besi yang menyerupai manusia, dan bahkan gabungan dari semuanya. Berjalan, berpakaian, serta berbicara dan berbahasa layaknya manusia. Berkali-kali aku mencubit tubuhku dan membasuh wajahku dengan air dari sungai-sungai kecil berdinding batu, supaya sadar apabila itu hanya mimpi atau halusinasi, tapi semuanya nyata. Dengan penampilan mereka yang seperti itu, aku bahkan tidak berani menatap mata mereka, lupakan bertanya.
"Ah, akhirnya ada manusia," bisikku sambil berusaha menghentikan pria yang berpapasan denganku di sudut lorong.
"Dasar kau rasis! Aku bukan manusia!" bantah pria itu dan langsung pergi melanjutkan perjalanannya. Saat ia berlalu, terlihat bagian belakang tubuh kuda yang menyatu dengan punggungnya dan itu jelas-jelas bukan manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALBIOS: Trivium
Fantasy(Commencing Deep Reconstruction, baca: bakalan dirombak sampai ke batu pertamanya) Seorang pemuda tanpa ingatan berkalung wajik ditraktir makanan dan diberi nama Albios oleh sekelompok pemburu hadiah setelah berkeliaran tanpa arah di kota super ane...