05. membela Jisung

8K 1.1K 23
                                    

;

The Nanny

;

"Apa kita akan menjemput Jisung, Pak?"

Jeno bergeming, sibuk dengan benang kusut pikiran untuk yang kesekian kali. Di depan sana mentari kian tenggelam di cakrawala. Bulu mata lentik bergerak naik turun seiring bertambahnya intensitas kedipan. Dipaksa, oleh biasan cahaya kemerahan yang menyilaukan.

Haechan sendiri mulai jengah. Lima belas menit berlalu tanpa kata ataupun aksi sejak mobil berhenti. Diam, diselimuti kabut keheningan yang kian menggumpal.

"Sekertarisku bilang Jisung memukuli temannya," Sudah pening mencari jalan keluar, Jeno akhirnya memutuskan untuk berbagi pemikiran. "dia bilang kali ini orang tua harus benar-benar datang."

"Apa?! kenapa Bapak tidak bilang dari tadi!" ucap Haechan seraya melepas seatbelt. "mari kita temui gurunya."

Angin sore hari serta-merta menerpa kulit. Haechan tak habis pikir, bisa-bisanya Jeno membuang waktu disaat Jisung membutuhkan dirinya. Pantas saja si remaja bersikap tak acuh, bahkan lebih memilih hidup sendiri. Tak boleh terus begini. Jeno harus melempar sedikit demi sedikit ego yang tak sadar sudah mencekik diri.

"Ayo, Pak!" ajak Haechan lagi saat Jeno belum juga turun dari mobil.

"Ak-ku tidak bisa," bisik Jeno. "tiap kali guru meminta orang tua Jisung untuk ke sekolah, saya selalu meminta bantuan Jaemin untuk pergi sebagai wali. Dia akan segera datang."

Haechan menatap Jeno tak percaya. "Renjun bilang Jaemin sedang ada meeting di Busan dan baru akan kembali pukul enam sore! Apa kita harus tetap menunggu satu jam lagi?!" jika saja Haechan tidak ingat Jeno adalah majikannya, entah apa yang akan terjadi.

Jeno menggeleng. "Tidak ada pilihan lain,"

Haechan menghirup napas dalam-dalam sebelum dikeluarkan dengan kasar. "Biar saya saja yang kesana." putus Haechan yang tak menyangka bahwa rasa takut Jeno akan sebesar ini.

"Tapi Haechan-ssi―"

Terlambat. Haechan sudah lebih dulu melenggang pergi.

Lagi, Jeno diperbudak oleh rasa takut, menghasut dengan suara lantang. Kaki melemah, perut mual, dan lidah kelu menjadi efek yang ditimbulkan. Sang sahabat pernah berujar bahwa tidak ada yang perlu ditakuti selain ketakutan itu sendiri. Sayang, berapa kalipun mencoba, Jeno tak bisa membungkam desakan yang menuntutnya.

Sepuluh menit.

Duapuluh menit.

Tigapuluh menit berlalu namun tak ada tanda-tanda Haechan dan Jisung keluar.

Kecemasan terus menumpuk, sebab hati dipaksa untuk beku. Jeno membohongi diri, hidup dalam ketidaktahuan yang membingungkan. Dia tidak bisa melakukan apapun selain bernapas, berjalan, dan memikirkan semuanya sedikit demi sedikit.

Entah dorongan dari mana, kaki Jeno begitu saja melangkah menuju gedung sekolah. Lapangan, lorong, kelas, bau cat baru pada bangku, semua yang dilewati tak banyak membuat Jeno bernostalgia. Nurani sudah mati sejak lama, terganti oleh raga tanpa jiwa.

Dari balik celah pintu yang terbuka, Jeno melihat seorang guru duduk di tengah Jisung dengan seorang murid lainnya. Dua sosok tersisa, ibu dan anak menatap angkuh di sebrang.

Jeno menelan ludah. Dimana Haechan?

Rasa cemas menyelimuti tubuh. Udara masih bisa menyentuh kulit, membiarkan tubuh tetap berfungsi. Siapa yang menyangka cemas mampu melumpuhkan semuanya. Jeno berjalan, berbicara, tersenyum, seperti yang selalu ia lakukan, tak sadar bahwa semua itu menggerogotinya perlahan.

THE NANNY [Nohyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang