Berbagai merek panci sudah Ara pukul dengan keras sampai membuat mamanya heran, pasalnya Hana menyuruhnya untuk membangunkan kakaknya, bukan untuk bermain-main dengan panci.
“JUNG JENO BANGUN!!”
Anak itu rupanya, laki-laki bermata sipit yang pandai mengeluarkan kata-kata indah itu kini sudah mulai menginjak usia tujuh belas tahun. Tidak terasa bocah yang beberapa tahun kemarin merengek karena hal kecil, kini sudah tumbuh menjadi lelaki tampan yang mempunyai hati lembut, tatapannya selalu teduh dan suaranya yang menenangkan mampu membuat seseorang nyaman.
Berkedip melihat sekeliling, Jeno mengucek matanya lalu bangkit menuju kamar mandi, tidak memperdulikan ocehan adiknya yang kesal dengannya lantaran waktunya terkuras untuk membangunkan Jeno yang memang susah saat dibangunkan.
Cuaca yang sedang dingin sama sekali tidak mempengaruhi suhu tubuh Jeno, dia mengguyur tubuhnya dengan air dingin dan malah berendam dengan waktu yang cukup lama di bathtub.
Ini adalah waktu yang genap, empat bulan dia dan keluarga kecilnya menetap di Aussie. Setelah mendengar penuturan mama juga adiknya, Jeno setuju untuk berpindah ke Aussie, tepatnya pada sore menjelang malam dirinya dan keluarga tiba di Canberra, Australia.
Jeno tinggal disebuah apartemen terdekat, Capitol Executive Apartement on London Circuit menjadi tempat yang terpilih untuk keluarganya tinggali. Letaknya yang pas di pusat kota membuat Jeno dan lainnya mudah untuk mendatangi tempat sekitar, sekolahnya juga tidak terlalu jauh dari kediamannya. Jadi, Capitol Executive Apartement bukan tempat yang buruk untuk mereka tinggali.
***
“Christopher.”
“Jeno.”
Keduanya saling berjabat tangan, Jeno baru saja mendapatkan teman baru di daerahnya. Hal yang mengejutkannya ialah, Christ ternyata memiliki darah Korea, yang artinya dia bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Korea. Jujur bahasa Inggris Jeno agak berlibet, dan fakta yang mengejutkannya lagi ialah-Christ merupakan pemilik apart yang dia beli beberapa bulan kemarin.
“Yes, my father purposely gave me several apartements. That's whay i sold some so it won't be too much trouble.”
“Can we speak our language? I don't really like using English.”
Christ terbahak mendengar ujaran Jeno, omong-omong Jeno ini tidak terlalu buruk seperti yang dia pikirkan. Christ mengiranya Jeno itu jutek, ketara saat pertama kali dia melihatnya. Jeno berjalan dibelakang wanita dengan tatapan datar dan aura dingin, padahal disitu Jeno mati-matian menahan gejolak dalam perutnya yang amat sangat menginginkan toilet.
Biasa, panggilan alam.
"Mau ramyeon?”
“Lo nawarin gue makan kayak om-om mesum mau unboxing cewe,” ujarnya.
“Ramyeon meokgo gallae?”
Bukannya menghentikan pembicaraan, Jeno malah menaik turunkan alisnya dan merangkul bahu Christ, “Dua kali keluar sama dengan satu apart.”
“Sialan,” umpatnya sambil mendorong tubuh Jeno untuk menjauh.
Berbeda dari orang-orang yang bertemu dengannya tempo lalu, sangat jutek dan tidak memiliki attitude, Jeno justru mudah sekali berbaur dengannya. Lelaki ini sangat ramah, mudah senyum, juga memiliki selera humor yang rendah.
Dua orang yang menginjak dewasa itu berjalan beriringan ditemani sunset yang mulai terlihat, juga angin yang seperti menerima pertemanan mereka.
Keduanya menuju sebuah cafe dengan berjalan kaki, yang Jeno rangkum hari ini ialah- Aussie benar-benar indah saat menjelang petang. Meskipun seperti itu setiap harinya, namun Jeno baru menyadarinya sekarang. Tempat dimana dirinya duduk dengan secangkir kopi dan memandangi langit sore dengan tenang.
Christ mengikuti arah pandang Jeno, dia menggeser kursinya kebelakang agar sedikit leluasa untuk menikmati langit sore, pandangannya tertuju pada awan yang mulai berpindah tempat.
“Lo ada liat dinosaurus?”
Jeno berdeham malas, tapi dia mengikuti arah pandang Christ. Telunjuknya mengarah pada kumpulan awan yang indah, disebelahnya terdapat beberapa gedung yang menjulang tinggi menyamai awan itu.
“Itu dinosaurus,” tunjuknya dengan tepat kearah awan yang berbentuk menyamai Dinosaurus.
“Tapi gue lihatnya Galeocerdo.”
Christ mengernyit, “Mana?”
Jeno menunjuknya dengan dagu, “Sebelah gedung tinggi itu, urutan kedua."
“Maksud lo, Hiu?”
“Hm'm. Gue dulu suka banget sama Hiu.”
“Dengan alasan?” Tanya Christ lagi.
“Ya suka aja, soalnya papa juga suka banget sama Hiu.” Jawab Jeno dengan netra yang masih terpaku pada awan berbentuk Galeocerdo atau Hiu purba itu. Jika Jeno mengalihkan pandangannya, hiu itu seolah menghilang dari pandangannya dan tidak akan pernah muncul kembali.
Sejenak, Jeno teringat beberapa memory bersama papanya. Pertemuan dengan papanya terakhir kali saat ulang tahun Ara yang ke enam tahun, saat itu usia Jeno masih sepuluh tahun. Jeno meminta agar Jaehyun selalu ada saat adiknya ulang tahun, meskipun dia tau jawabannya belum tentu bisa.
Sejak kecil Jeno benar-benar diajarkan untuk mandiri, dia di dewasakan oleh keadaan. Saat anak seumurannya mengambil raport berserta kedua orangtuanya, Jeno justru diambilkan dengan mama seorang diri. Jeno kecil mengerti, sangat mengerti jika laki-laki yang sudah menikah itu memiliki tanggungjawab yang amat besar, tapi Jeno mulai menyadari keanehan dari tanggungjawab yang papanya lakukan.
Akankah urusan bisnis kantor memakan waktu hingga tujuh tahun lamanya?
Contoh saja orangtua Haechan, Johnny memiliki kantor di Amerika itu sangat banyak. Cabangnya dimana-mana, dia juga beberapa kali mendatangi kantornya yang berada di luar negeri tapi tidak selama yang papanya lakukan, Johnny hanya butuh waktu kurang lebih sebulan.
Lantas urusan yang seperti apa papa Jeno lakukan?
**
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐀𝐏𝐀 - 𝐉𝐀𝐄𝐇𝐘𝐔𝐍 [END]
Fanfiction"𝘌𝘷𝘦𝘯 𝘵𝘩𝘦 𝘩𝘢𝘳𝘴𝘩 𝘸𝘰𝘳𝘥𝘴 𝘸𝘦 𝘴𝘱𝘦𝘢𝘬 𝘢𝘳𝘦 𝘯𝘰𝘵 𝘦𝘲𝘶𝘪𝘷𝘢𝘭𝘦𝘯𝘵 𝘵𝘰 𝘴𝘰𝘮𝘦𝘰𝘯𝘦 𝘸𝘩𝘰 𝘩𝘢𝘴 𝘣𝘦𝘦𝘯 𝘩𝘶𝘳𝘵 𝘣𝘦𝘤𝘢𝘶𝘴𝘦 𝘰𝘧 𝘑𝘢𝘦𝘩𝘺𝘶𝘯" © masyaallah_author