Sabiya sibuk menggeledah meja riasnya, mencari masker wajah yang baru dibelinya minggu lalu. Zora tampak tak peduli, dirinya hanya sibuk men-scroll postingan Instagram menggunakan ponsel Sabiya—hitung-hitung irit kuota—sambil tengkurap di kasur.
"Sini HP gue," pinta Sabiya merebut ponsel miliknya dari genggaman Zora.
Zora mendudukkan diri sembari menarik guling dan meletakkan di atas pahanya yang sudah dalam posisi bersila, lalu berkata dengan ketus, "Pelit banget!"
Sabiya mendengkus, "Mau gue pake buat senter, Zora Sayang," sahut Sabiya masih sibuk berusaha menemukan masker hingga meraba-raba ke bawah kasur dan belakang lemari.
"Nah, ketemu!" teriak Sabiya girang usai menemukan maskernya, bersamaan dengan ponsel Zora yang berdering di meja.
Meski ogah-ogahan, Zora tetap bangkit, mengambil ponsel, dan terpaksa akan mengangkat telepon masuk. Matanya melotot melihat nama penelepon yang tertera di layar.
"Siapa?" Zora menyembunyikan ponselnya ke belakang badan, padahal Sabiya bertanya dengan nada yang biasa-biasa saja, tidak mengejutkan sama sekali. Zora tersenyum kecil sebelum berpamitan keluar untuk mengangkat telepon.
Mencampur masker wajah dengan air, mengoleskan, dan meratakan ke seluruh wajah, hingga kini sudah setengah kering, Zora tak kunjung kembali masuk ke kamarnya. Tak biasanya Zora berlama-lama berbincang di telepon, kecuali jika … ah! Sabiya baru paham sekarang, jangan-jangan panggilan tadi dari kekasih baru Zora?
Baru saja akan keluar menyusul, Zora membuka pintu dengan tak sabarnya. Sabiya yang tepat di belakang pintu, tentu saja tertabrak. Dan sialnya lagi, wajahnya yang penuh masker itu terbentur pintu kokoh kamarnya sendiri.
"Ah, Zora! Apa-apaan, sih, masuk buru-buru gini. Liat masker gue hancur!"
"Ya lagian lo ngapain di belakang pintu, Anjir!" Zora turut bergerak memeriksa wajah Sabiya dengan sedikit rasa bersalah. "Sorry. Lo sih, makanya kalau lagi maskeran tuh jangan berdiri di belakang pintu. Duduk di Kasur, kan, bisa."
Jika bukan karena Zora yang berlama-lama mengangkat telepon, Sabiya juga malas berniat menyusul. Tak menanggapi dengan sepatah kata pun, Sabiya melenggang pergi keluar kamar. Zora mengerucutkan bibir, lalu merebahkan diri di tempat tidur.
Selesai membasuh wajah, Sabiya masuk kamar sambil mengelap wajahnya yang masih basah dengan handuk kecil merah muda. Apakah gagal maskeran akan menjadi penutup nasib sialnya hari ini? Semoga saja.
"Lo bilang lagi butuh duit, kan? Mau kerja sampingan enggak?" Zora membuka suara dengan tawaran menguntungkan. Berharap, Sabiya tertarik dan melupakan kejadian tertabrak pintu tadi. Sabiya melirik malas, kemudian menyusul Zora duduk di atas Kasur. "Kerjaan apa?"
Zora bangkit dari posisi nyamannya, lalu menyunggingkan senyum tiga jari. "Jadi pacar pura-puranya orang jones," seru Zora.
Belum apa-apa, Sabiya memundurkan badan dan menolak mentah-mentah. "Dih, ogah gue. Om-om pasti. Lo pikir gue cewek apaan?”
"Kenalan temen gue lagi butuh cewek karena mau dijodohin. Tuh cowok enggak mau. Bayarannya lumayan, Bi. Itung-itung nutupin gaji lo yang kena potong gara-gara galak ke pelanggan." Zora kembali mengaitkan dengan kejadian Sabiya yang mengomeli pelanggannya hingga kena potong gaji.
"Enggak, ah. Gue males kalau kerjaannya gi—"
"Lima juta, katanya dalam sekali ketemuan." Sabiya melongo. Pekerjaan apa yang hanya sekali bertemu, menghasilkan uang senilai gajinya di kafe selama sebulan?
Sabiya kembali mendekat perlahan. "Aman enggak cowoknya? Sejones itu, ya?" tanya Sabiya memasang wajah penuh rasa ingin tahu.
"Aman lo kira mau diapain?! Katanya lo cuma perlu nemenin dia ketemu kakeknya. Paling sejam dua jam temen gue bilang, mah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words✔
RomanceIni bukan kisah Cinderella yang harus pulang sebelum pukul dua belas malam sebab kesempurnaan yang akan sirna, melainkan tentang Sabiya yang tidak diperbolehkan keluar rumah lewat dari jam sepuluh malam jika tak ingin dijodohkan oleh sang ayah. Dia...