7) Teken Kontrak

37 4 0
                                    

Sabiya kira, tak akan selama ini menunggu ojek online dari aplikasi hijau di ponselnya. Sudah lima belas menit menunggu, mengapa belum juga datang? Apa tukang ojeknya lupa? Ah, mengesalkan saja. Padahal Jesi bilang, mereka akan datang dalam waktu lima menitan. Apa mungkin wanita itu berbohong?

Lagi-lagi Sabiya hanya bisa duduk menanti, setidaknya yang ditunggunya sudah pasti. Ia merogoh earphone dari tas selempangnya, bosan benar-benar menyiksa.

Lagu Attention milik grup band Shinee menjadi pilihan pertama diputar. Ia butuh alunan yang bisa menghibur diri. Tangannya bersedekap di depan dada, bersandar pada punggung bangku halte, lalu memejamkan mata.

Suara klakson mobil menghancurkan mood yang sudah mulai membaik. Sabiya lekas membuka mata, membenarkan posisi duduknya yang sudah sedikit merosot. Kedua matanya memelotot mendapati seorang pria yang beberapa hari lalu membuatnya kesal setengah mati berada di dalam mobil. Tangannya segera melepas earphone yang masih menutupi lubang telinga.

Pria itu keluar, berjalan menghampirinya. Baru saja bangkit dan berniat pergi dari halte, namanya dipanggil. "Sabiya."

Suara itu terdengar lembut tetapi dalam. Sabiya menggigit bibir kesal sebelum berbalik badan. "Apa? Gue udah enggak punya urusan sama lo. Berhenti ganggu gue."

Devan terus mendekat, memotong jarak antara dirinya dan Sabiya, tentu saja malah membuat Sabiya mundur. Devan langsung mengulurkan tangan, memegang pergelangan Sabiya yang hampir jatuh tersandung batu sebab tak memperhatikan langkah.

"Awas!"

Sabiya mengerjap, tak berapa lama tubuhnya sudah bersandar pada tubuh seseorang. Sial, tangannya malah menyentuh dada bidang Devan yang terhalang kemeja. Mata hitam itu menatapnya saat ia mendongak.

"Is!" Sabiya mendorong Devan lumayan keras hingga pria yang berhasil menolongnya itu mundur dua langkah.

Sibuk menepuk-nepuk badannya, Sabiya tak tahu apa yang baru saja terjadi. "Kita lanjutin perjanjian itu."

Sabiya mengangkat wajah. "Lanjutin? Lo bilang udah selesai sam---"

"Kita bahas di mobil." Devan berjalan mendahului. Baru setengah jalan, ia melihat ke belakang, Sabiya masih diam.

Hah! Devan membuang napas lelah. Ia kembali menghampiri Sabiya dan menarik pergelangan tangan wanita ini. "Stop! Lo lakuin ini karena masih nyimpan dendam sama gue gara-gara jus stroberi itu, kan?"

Devan melirik sekitar, takut ada yang menyaksikan mereka berdua. Bukan apa-apa, tempat ini tidak jauh dari tempat kerjanya. Khawatir salah paham, dikira ia sedang mengganggu wanita muda. "Enggak ada."

"Bohong! Lo resek banget, ya! Lo pengin gue minta maaf? Lo yang harusnya minta maaf. Gaji gue dipotong gara-gara lo. Untung cuna setengah, bayangin kalau full. Kerja buat apa? Buat nyari capek?"

Sejenak Devan memejamkan mata. Heran dengan Sabiya yang malah mengira dirinya menyimpan dendam gara-gara kejadian di kafe. "Enggak ada. Ikut gue makanya," pinta Devan lagi-lagi melirik sekitar, tak mau ada yang melihat.

Ia memgedipkan mata beberapa kali, tubuhnya mematung. Empat meter dari tempatnya dan Sabiya berdiri, seorang wanita muda melongo melihat mereka. Sabiya turut menoleh. "Reni?"

"Lagi ngapain, Bi?" Sabiya melirik Devan, kemudian menghampiri Reni yang hanya berdiri di tempat.

Sabiya terkekeh. "Baru berangkat lo? Buruan masuk, gih. Udah ditungguin, tuh," ucapnya merangkul Reni sambil melirik Devan dan memberi kode agar pria itu pergi ke mobil.

"Apa?"

Sabiya memejamkan mata untuk meredam kesal. Heran dengan Devan yang sungguh tidak pekaan. "Gih sana masuk, telat presensi entar lo." Reni melihat jam di tangannya. "Oh iya. Ya udah, gue duluan, ya," pamitnya.

Three Little Words✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang