18) Ucapan Adalah Doa

27 3 1
                                    

Pagi-pagi buta di hari libur, ponsel Sabiya berdering di meja rias. Berkali-kali ponselnya mengirim sinyal ada telepon masuk, tetapi dibiarkan. Paling Zora yang gabut semalaman tak bisa tidur.

Bukannya berhenti, telepon terus-terusan masuk entah siapa pelakunya. Siapa yang tak kesal? Segera Sabiya bangkit dengan terpaksa, mengambil ponsel yang masih mengisi daya. Rupanya nomor tak dikenal, penipu sialan. Sepagi ini ingin mengerjainya? Sungguh kurang ajar.

Menunggu ponsel itu kembali berdering, akhirnya muncul juga. Langsung saja Sabiya menekan tombol hijau dan menrmpelkan si pipih penuh kecanggihan itu ke depan telinga.

"Kalau mau nipu, tuh, yang kira-kira dong. Ini jam berapa? Jam kerja lo gasik bener," cerocos Sabiya langsung.

Tak terdengar jawaban, hening sekali. Sabiya menjauhkan ponsel dari telinga, siapa tahu penipu itu sudah memutus sambungan. Namun, terlihat panggilan mereka masih terhubung. Sabiya mengangkat alis. Ketika hendak membuka mulut, berniat menyerocos lagi sebelum menutup sambungan, seseorang di seberang telepon mulai bersuara.

"Sabiya?"

Si empunya nama menegang. Mata yang sebelumnya dipaksakan agar terbuka, kini langsung terbuka lebar saat mendengar suara pemanggil. Lagi-lagi ia melihat layar ponsel. Benar, nomor tak dikenal, tetapi suara penelepon itu sungguh tak asing. Tak mungkin Bagas meneleponnya, bukan?

"Benar ini nomor Sabiya? Ini kakek Devan."

Mampus! Mulutnya terbuka lebar, tak percaya apa yang terjadi sekarang. Bagas meneleponnya? Dari mana pria baya itu tahu nomor ponselnya? Mengapa meneleponnya sepagi ini? Satu lagi, mengapa tak mengirim pesan terlebih dahulu agar dirinya tak mengira nomor tak tersimpan di kontak itu penipu online. Sungguh Sabiya malu berkata-kata lagi. Apa yang harus ia katakan sekarang?

"Biya?"

"Ah, iya!" Refleks Sabiya menjawab dengan nada sedikit tinggi. Kembali ia runtuki mulutnya yang tak bisa dikontrol.

"Syukurlah kamu angkat telepon kakek. Kamu ada waktu luang hari ini?"

Sabiya berpikir, mengingat-ingat sekarang hari apa. Oh iya, Sabtu. Libur kerja tentu saja. "Ada, Kek. Kenapa?" Nada bicaranya mulai santai, seperti biasanya.

"Tolong jagain Devan di Rumah Sakit Cempaka."

Jagain Devan? Di rumah sakit? Sakit apa laki-laki itu? Kemarin sehat-sehat saja ia lihat. Bahkan mampu membuatnya emosi jiwa raga. Tunggu! Apa jangan-jangan, Devan masih melanjutkan kepura-puraannya sakit perut kemarin? Berani sekali sampai pura-pura dirawat segala.

"Sakit apa memang, Kek?"

"Kamu enggak tahu?"

Dari mana ia akan tahu mengenai kesehatan Devan. Pacarnya saja bukan, apa urusannya? Yang ia tahu, kemarin Devan berbohong tentang sakit perut yang berujung diare. Sialnya lagi, di depannya sendiri.
"Enggak, Kek," jawabnya jujur.

"Dia diare, gara-gara makan pedas."

Sedikit tak percaya. Mana mungkin diare hanya karena makan pedas. Meskipun bisa, pasti pedas ekstra. Apa yang dimakan pria itu hingga terdampar di rumah sakit? Menyusahkan saja.

"Nanti saya ke sana sekitar pukul sem--"

"Galan lagi on the way ke rumah kamu."

What?! Galan sudah dalam perjalanan menjemputnya? Sabiya sungguh tak mengerti, alasan apa yang membuatnya harus menjalani takdir seperti ini?

Belum selesai bertanya mengenai apa yang terjadi pada diri sendiri, Bagas berpamitan sebab harus mengurus sesuatu. Sabiya mengiakan. Sambungan telepon pun ditutup, Sabiya langsung mendudukkan diri di ranjang, masih berusaha mencerna.

Three Little Words✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang