Sabiya mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum kembali melayani pelanggan di depan, setelah sibuk membersihkan gudang bersama Hana. Tikus sungguh mengganggu. Padahal kafenya rapat dari lubang-lubang yang bisa menjadi terobosan hewan pembawa kutu penular tifus itu masuk, tetapi tetap saja. Rupanya tikus lebih cerdik dari yang dibayangkan.
Tiga karung bahan pokok yang biasanya digunakan untuk membuat menu makanan ringan kafe, tampak berlubang di beberapa bagian. Mengapa tidak satu karung saja yang digigitnya, tak perlu tiga karung sekaligus harus rakus dilubangi, bukan? Tikus yang berulah, Sabiya yang mengalah, menerima paksaan Jesi untuk menggantikan wanita berkulit putih bersih itu, yang enggan mengotori diri.
"Ini, Bi." Hana datang menghampiri Sabiya yang duduk selonjor di lantai sambil berkali-kali membuang napas, diselingi gerutuan kesal kepada para tikus nakal. Tangannya masih sibuk memijat lutut yang pegal.
Sabiya mendongak, segera ia rampas minuman Chocolatôs dari tangan Hana. "Makasih, Han."
Meski tergolong minuman dengan rasa cokelat yang kental dan manis lumayan pekat, Sabiya tetap meneguknya hingga tandas dalam sekali tegukan. "Gue enggak habis pikir kenapa tikus bisa muncul dan rusuh di kafe kita."
Hana yang duduk bersila menghadap Sabiya mengangguk, wajahnya tampak tak jauh berbeda, memindahkan tiga karung berisi bahan baku ke wadah baru benar-benar menguras tenaga keduanya.
Lima belas menit saja ia ingin tidur, kantuknya sungguh tak bisa diajak kompromi. Sebenarnya salahnya sendiri yang memilih menghabiskan waktu istirahat dengan maraton menonton oppa-oppa kesayangan. Sabiya bersandar pada rak lumayan besar, matanya mulai perpejam.
Ponsel yang berbunyi tanpa aba-aba membuat Sabiya langsung terlonjak kaget. Kepalanya berdenyut, sakit yang khas saat terbangun tiba-tiba saat dikejutkan oleh sesuatu. Tangan malasnya merogoh saku celana hitam, berusaha mengambil ponsel yang belum juga berhenti berhenti berdering.
Zora, penelepon yang membuat jantungnya berdebar kencang hingga saat ini. Sungguh mengesalkan.
"Asem lo, ya! Gue baru merem juga, malah lo kagetin. Jantung gue enggak aman, ngerti enggak?" cerocos Sabiya tanpa jeda.
Pasti si penelepon kini menjauhkan teleponnya dari telinga demi melindungi indra pendengarannya. Setelah sekian detik, dirasa Sabiya sudah berhenti berbicara, barulah Zora kembali mendekatkan ponselnya.
"Bi, mulai nge-job lagi besok Minggu."
"Job apaan, sih? Minggu gue mau ma—" Sabiya menghentikan ucapannya sendiri saat mengingat pekerjaan sampingannya. Refleks ditutupnya mulut dengan telapak tangan kiri. Kepalanya menoleh kanan-kiri, mencari keberadaan Hana yang rupanya tengah sibuk merapikan gudang.
Wanita berambut cokelat panjang sepunggung itu mendekatkan ponselnya ke depan bibir. Sebelum melanjutkan ucapannya, kembali ia tengok Hana. Aman. "Ngapain?" tanya Sabiya sedikit berbisik, matanya tak bisa berhenti mengamati Hana dari kejauhan.
"Jalan-jalan kalau kata Galan, mah."
"Berdua?"
"Sama kakek sekalian."
"What?!" Sabiya langsung menutup mulutnya yang malah berbicara keras-keras, spontan karena terlalu terkejut.
Hana tentu mendengarnya dan menoleh. "Kenapa, Bi?" tanyanya khawatir. Sambil berjalan menuju Sabiya, Hana menunjukkan raut bingung sekaligus penasaran.
Belum sampai Hana ke tempatnya duduk saat ini, Sabiya menyetop dengan telapak tangan yang terarah pada teman kerjanya. Sabiya tertawa kecil. "Enggak pa-pa, gue cuma kaget liat postingan doi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Three Little Words✔
RomanceIni bukan kisah Cinderella yang harus pulang sebelum pukul dua belas malam sebab kesempurnaan yang akan sirna, melainkan tentang Sabiya yang tidak diperbolehkan keluar rumah lewat dari jam sepuluh malam jika tak ingin dijodohkan oleh sang ayah. Dia...